Defisit BPJS Kesehatan terus terjadi, ini saran mengatasinya

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan masih dibekap berbagai masalah yang bermuara pada defisit dana. Kebijakan menaikkan iuran dianggap bukan solusi ampuh membenahi pengelolaan BPJS Kesehatan yang diharapkan semua pihak.

Defisit BPJS Kesehatan itupun dikeluhkan para praktisi bidang kesehatan, terutama manajemen rumah sakit dan klinik swasta. Bahkan, sejalan dengan defisit tersebut, pada tahun ini tunggakan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit di seluruh Indonesia, makin menumpuk.

Berdasarkan catatan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), tunggakan BPJS Kesehatan pada 2019 telah mencapai Rp 6,5 triliun.

Akibatnya, banyak rumah sakit yang didera kendala operasional, seperti putusnya pasokan obat dari para vendor karena ketiadaan dana, hingga tunggakan gaji kepada para dokter.

Di sisi lain, secara manajerial, BPJS Kesehatan juga memberikan imbas negatif kepada klinik-klinik swasta. Saat ini, dengan menggenggam BPJS Kesehatan, masyarakat lebih memilih fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) di Puskesmas, dengan rujukan langsung ke rumah sakit.

Alhasil, lama kelamaan klinik-klinik swasta inipun rontok. Sebaliknya, pihak pemerintah juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai argumentasi berbeda terkait defisit anggaran BPJS Kesehatan.

Dosen Hukum Kesehatan Universitas Atmajaya dr. Erfen Gustiawan Suwanto menilai kompleksitas masalah BPJS Kesehatan berakar kepada mental bobrok. Menurutnya, perangkat peraturan BPJS Kesehatan cukup komplit, termasuk aturan tentang fraud.

“Soal Fraud itu ada Permenkes 36/2016, isinya sekitar 10 jenis fraud. Kalau RS ya soal penaikan jumlah klaim yang tak benar, BPJS juga bisa melakukan downgrade klaim yang juga tak benar, termasuk pasien dan dokter pun berpotensi melakukan fraud tersebut,” kata Erfen dalam keterangan pers, Minggu (29/9).

Lebih jauh, Erfen menilai fraud terkait BPJS Kesehatan dipengaruhi banyak hal. Pertama, terkait skala keekonomian tarif BPJS Kesehatan.

“Selama ini pemerintah memasang tarif dengan mengacu ke fasilitas kesehatan negeri, seperti RS negeri, yang semuanya digaji sama negara. Sedangkan RS swasta kan berbeda, harus membayar gaji dan operasional sendiri, namun disamakan tarifnya, ini yang membuat RS swasta melakukan tindakan yang tidak benar,” katanya.

Di sisi lain, Erfen mengoreksi arah kebijakan kesehatan pemerintah. Menurutnya, keberadaan BPJS Kesehatan juga harus dibarengi dengan sinergi bersama pihak swasta.

“Artinya, anggaran pemerintah untuk membangun faskes seperti Puskesmas dan RS dan pengadaan tenaga PNS sampai Ambulans, itu bisa disalurkan ke klinik swasta yang telah ada, gunakan mereka. Di Australia seperti itu, pemerintah memanfaatkan keberadaan klinik swasta ini, perusahaan swasta didorong berkontribusi terhadap kelengkapan Faskes di wilayah operasional mereka, dengan iming-iming pengurangan pajak,” kata Erfen.

Selain itu, dia mendorong agar pemerintah mendorong kebijakan dokter keluarga. Singkatnya, dokter umum yang selama ini ada harus melengkapi kemampuan spesialisasi sehingga penanganan pasien cukup di faskes paling awal.

“Kalau di Belanda, 80% pasien ditangani dokter keluarga yaitu dokter umum dengan kemampuan spesialisasi, sehingga tidak membebani klaim dengan penanganan dokter spesialis. Di sini, defisit BPJS juga disumbang banyaknya klaim dokter spesialis yang semuanya rujukan dari dokter umum,” kata Erfen.

Dia menilai persoalan utama BPJS Kesehatan bukan sekadar soal iuran yang mesti dikerek, melainkan pembenahan mental para pemangku kepentingan. “Jadi mau aturan atau tarifnya seperti apa, jika ada mental mencari untung sendiri, susah. Apalagi mental korup yang juga mengincar dana kesehatan,” tutup Erfen.

Berita Tekait

Policy Paper