Menyorot Surplus Finansial BPJS Kesehatan

Dari defisit terbitlah surplus, itulah kira-kira gambaran potret finansial BPJS Kesehatan saat ini (edisi 2020).Lazim kita dengar, potret finansial BPJS Kesehatan adalah defisit, sejak dilahirkan hingga 2019. Angka defisitnya pun menyundul langit, levelnya mencapai triliunan. Contohnya, jika pada 2018 defisitnya sebesar Rp9,1 triliun; maka pada 2019 defisitnya melonjak menjadi Rp16 triliun (audit BPKP). Dan, pada 2020 diprediksi defisitnya mencapai Rp32 triliun, melambung 100 persen.

Tetapi prediksi bahwa pada 2020 defisit finansial BPJS Kesehatan akan melambung, justru yang terjadi sebaliknya. Abrakadabra, ternyata posisi finansial BPJS Kesehatan pada 2020 mengalami surplus. Yes, surplus! Hal itu terungkap via paparan oleh tim managemen BPJS Kesehatan pada suatu diskusi di Bogor, 28/01/2021. Kendati laporan itu masih level unaudited, tetapi tergambar dengan gamblang posisi arus kas BPJS Kesehatan sampai Desember 2020 tercatat Rp18,74 triliun. Indikator lainnya pun bernuansa positif, yakni utang Jamkesmas hanya Rp1,9triliun, plus klaim dalam proses verifikasi juga sangat kecil, yaitu Rp1,16 triliun. Bandingkan dengan fenomena 2019, arus kas posisinya minus (Rp15,5 triliun), utangnya mencapai Rp17,07 triliun, dan klaim dalam proses verifikasi mencapai Rp2,18 triliun.

Tetapi,tunggu dulu, kegembiraan itu jangan membuncah terlalu dalam. Pasalnya, kendati arus kasnya surplus, namun posisi finansial secara keseluruhan belum bisa dinyatakan sehat, sebab posisi aset bersihnya masih minus Rp6,35 triliun. Memang hal ini sudah mengalami perbaikan, sebab pada 2019 aset bersihnya minus sebesar Rp10,7 triliun. Artinya, postur finansial BPJS Kesehatan sejalan dengan PP No. 84 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jamkesmas, yang menandaskan bahwa kesehatan keuangan aset dana Jamkesmas diukur berdasarkan aset bersih dana Jamkesmas (Pasal 37).

Lalu kenapa postur finansial BPJS Kesehatan mampu mengalami surplus? Setidaknya, ada tiga indikator yang menjadi pemicunya. Pertama, kenaikan iuran pada semua kategori peserta. Sebagaimana Perpres No. 75/2019 dan Perpres No. 82/2018, maka sejak Januari 2020, iuran BPJS Kesehatan mengalami kenaikan signifikan. Memang kenaikan itu lebih dari 85 persen ditanggung oleh negara, termasuk untuk kategori peserta mandiri (PBPU), yang masih disubsidi negara sebesar Rp16.500. Kenaikan iuran juga masih dilakukan pada awal 2021, namun peserta mandiri kelas tiga subsidinya dikurangi menjadi hanya Rp7.000. Kenaikan iuran inilah yang berkontribusi signifikan terhadap revenue finansial BPJS Kesehatan, sehingga akhirnya mengalami surplus.

Kedua, kepatuhan konsumen dalam pembayaran. Kendati angka tunggakan iuran peserta BPJS Kesehatan masih tinggi (untuk peserta mandiri), namun lambat-laun kepatuhannya mengalami peningkatan. Terbukti, jika pada pertengahan 2020 (Agustus) persentase peserta aktif hanya 46,88 persen; maka pada Desember 2020 angkanya meningkat menjadi 48, 02 persen. Memang angka peserta non aktif (menunggak) masih sangat tinggi, yaitu 52 persen. Namun dengan naiknya persentase peserta aktif, boleh jadi memang mulai mulai tumbuh kesadaran terhadap arti penting program JKN. Apalagi dari sisi layanan, dengan indikator indeks kepuasan terhadap pelayanan BPJS Kesehatan skornya mengalami peningkatan. Oleh karena itu, ke depan, perlu upaya yang intensif dan konstruktif untuk membangun kesadaran peserta JKN agar spirit untuk membayar iuran JKN semakin tinggi.

Dan ketiga, upaya mewujudkan cost effective yang dilakukan oleh managemen BPJS Kesehatan. Instrumen cost effective ini dilakukan untuk mencegah terjadinya fenomena moral hazard dalam pelayanan, yang dilakukan oleh oknum tenaga kesehatan (dokter), atau bahkan oknum konsumen. Cost effective ini dilakukan berbasis kendali mutu dan kendali biaya, sehingga tetap mampu mewujudkan pelayanan yang standar dan sesuai harapan peserta JKN. Untuk mewujudkan hal ini, managemen BPJS Kesehatan setidaknya telah menelurkan 6 (enam) instrumen regulasi; misalnya prosedur operasi katarak dan rehabilitasi medik, dan klaim administrasi bayi lahir dengan tindakan persalinan.

Simpulan dan saran

Notifikasi adanya surplus finansial pada BPJS Kesehatan, tentu sebuah fenomena yang sangat menggembirakan. Oleh karena itu patut disyukuri dan diberikan apresiasi. Kita berikan apresiasi pada tim managemen dan seluruh kru BPJS Kesehatan yang bekerja keras siang malam untuk mewujudkan pelayanan yang standar. Plus bekerja keras bagaimana agar kinerjanya semakin efisien dan efektif. Sebab ditengarai, tingginya defisit finansial BPJS Kesehatan bukan hanya faktor iurannya yang masih under Price saja, tetapi juga praktik inefisiensi di internal BPJS Kesehatan, misalnya masalah data kepesertaan. Namun, sekali lagi, khabar menggembirakan ini jangan membuat semua pihak terlena, baik itu regulator (pemerintah), DPR, dan atau managemen BPJS Kesehatan. Jangan sampai fenomena surplusnya posisi finansial BPJS Kesehatan pada akhirnya menjadi pepesan kosong belaka. Mengapa?

Setidaknya ada dua hal yang harus diwaspadai, pertama, aset bersihnya masih minus. Artinya posisi finansial BPJS Kesehatan secara keseluruhan sejatinya belumlah sehat. Kedua, apakah posisi surplus ini permanen, atau hanya sementara? Mengingat, semasa pandemi tingkat kunjungan pasien ke faskes menurun drastis, hingga 40 persenan. Artinya klaim terhadap fasilitas BPJS Kesehatan juga menurun. Jangan sampai nanti jika sikon sudah normal, dengan tingkat kunjungan pasien yang membludak seperti biasanya, posisi finansial BPJS Kesehatan kembali collaps. Lagi-lagi patut diapresiasi jika managemen BPJS Kesehatan berani memberikan sinyal bahwa sikon ini relatively permanen. Bahkan, bisa sampai lima tahun ke depan. Mantap!

Terkait hal ini, yang tak boleh dilupakan adalah apresiasiyang setinggi-tingginya pada seluruh masyarakat Indonesia sebagai peserta JKN, yang telah merelakan dirinya untuk kenaikan iuran JKN, hingga mendekati angka keekonomiannya. Oleh karena itu, paska kenaikan iuran dan apalagi posisi finansialnya sudah surplus, maka managemen BPJS Kesehatan harus memberikan jaminan untuk terus melakukan upgrade standar pelayanannya. Tidak ada lagi cerita peserta JKN ditolak pihak rumah sakit, dengan alasan kamarnya penuh. Tidak ada lagi cerita peserta JKN diminta membeli obat sendiri oleh pihak rumah sakit, dengan alasan obatnya tidak dijamin oleh BPJS Kesehatan. Dan tidak ada lagi cerita antrian panjang untuk suatu tindakan medis, hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun lamanya; dengan alasan alat kesehatannya belum ada atau terbatasnya tenaga medis (dokter spesialis). Endingnya, skor indeks kepuasan peserta JKN harus meningkat secara signifikan. Tanpa hal itu, maka boleh jadi surplusnya sisi finansial BPJS Kesehatan hanya akan menjadi fatamorgana bagi peserta JKN, dan bahkan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bravo program JKN, bravo BPJS Kesehatan! ***

Berita Tekait

Policy Paper