Data Pelayanan Pasien TBC Ditanggung BPJS

“Selama ini kan kita ada vaksin TBC itu BCG ya, itu untuk anak-anak. Jadi tidak bisa untuk usia dewasanya. Untuk yang usia lebih dari 15 tahun, itu sudah tidak bisa lagi melakukan kekebalan, padahal usia penyebaran TBC ini luas, dan paling banyak malah usia produktif yang penyandang TBC,” jelas Agustina kepada detikX.

Vaksin Bacillus Calmette-Guérin (BCG) mulai diperkenalkan di Indonesia pada 1956. Sejak itu, vaksin ini menjadi bagian dari program imunisasi nasional untuk mencegah penyakit TBC, terutama jenis yang berat, seperti TBC milier dan meningitis TB terhadap anak-anak. Vaksin ini biasanya diberikan sekali seumur hidup. Idealnya saat bayi baru lahir atau sebelum usia 2 bulan.

Sepakat dengan hal tersebut, dokter spesialis paru dari Rumah Sakit Persahabatan sekaligus peneliti vaksin TBC, Erlina Burhan, menyebut vaksin BCG memang efektif melindungi balita. Namun, ketika mereka dewasa, kerentanan tertular TBC masih menjadi ancaman lagi.

Oleh sebab itu, menurut Erlina, kehadiran vaksin M72/AS01E-4, yang kini sedang diuji coba klinis di berbagai negara, membawa harapan baru bagi orang dewasa. Sebab, TBC tak bisa dianggap enteng karena cukup mematikan.

“Jumlah kematian 125-130 ribu per tahun artinya 15-16 orang per jamnya meninggal, kan. Sementara kita, upaya pencegahan itu masih sangat sedikit effort kita. Nah, pemberian vaksin ini adalah salah satu upaya pencegahan yang artinya intervensi kita lebih ke hulu, kan ngobatin kau udah dihilir, ya kan,” tutur Erlina kepada detikX melalui sambungan telepon.

Vaksin M72 adalah kandidat vaksin TBC terbaru yang dikembangkan sejak 1999 dan menunjukkan efektivitas hingga 50 persen dalam mencegah TBC aktif terhadap orang yang sudah terinfeksi laten. Pada fase uji klinis ketiga, vaksin M72 melibatkan sekitar 20 ribu partisipan di berbagai negara dengan angka tertinggi TBC dan negara endemis, termasuk Indonesia.

“Yang tahun 1999 itu kan masih di laboratorium, kemudian diteliti di hewan coba sampai 2005,” jelas Prof Erlina Burhan, salah satu peneliti utama vaksin ini.

Setelah terbukti aman dan potensial terhadap hewan, vaksin ini mulai masuk tahap uji klinis ke manusia, yang terdiri atas tiga fase. Fase I dilakukan dengan peserta terbatas, diikuti fase II dengan ratusan partisipan, dan saat inilah Bill & Melinda Gates Foundation mulai mendanai penelitian setelah inisiator awalnya, Glaxo Smith Kline (GSK), mengalami keterbatasan dana.

 

Uji coba klinis terhadap warga Indonesia dilakukan sejak September 2024. Kini sudah memasuki tahap monitoring efikasi atau kemanjuran dan efek samping.

“Kita ikut terlibat, keterlibatannya mulai mempelajari protokol tahun 2022, terus sampai 2023 perizinan segala macam dari komite penelitian, kemudian dari BPOM,” ujar Prof Erlina.

Erlina menerangkan uji klinis dilakukan di lima lokasi, salah satunya Fakultas Kedokteran UI dan RS Persahabatan, dengan total 2.095 peserta sehat berusia 15-44 tahun. Para partisipan menerima dua kali suntikan dengan jarak satu bulan dan akan terus dipantau hingga 2028 untuk mengevaluasi efek samping dan efektivitas vaksin.

“Iya, yang di fase I dan fase II sih efek sampingnya nyeri di tempat suntikan, lalu pegal di tangan itu, kemudian juga demam, yang biasanya hilang setelah 2-3 hari, dan sepertinya di fase III juga demikian. Tapi kan kita nggak bisa menyampaikan sebelum ada hasil keseluruhannya,” tegas Erlina.

Erlina menyayangkan pernyataan Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan RI, terkait vaksin M72. Erlina menekankan bahwa vaksin M72 bukanlah ‘produk instan’ atau agenda tersembunyi seperti yang kerap disangka publik.

“Bill Gates baru ikut 2014. Vaksin ini mulai prosesnya di 1999,” tegasnya, menanggapi keraguan publik.

Ia juga mengkritik pandangan bahwa Indonesia hanya dijadikan objek eksperimen. “Selama ini Indonesia jadi penonton aja. Kalau barangnya udah jadi, ya baru kita konsumsi dan kita beli,” ucapnya.

Dokter Tan Shot Yen, pemerhati kebijakan kesehatan, turut mengamini pentingnya vaksin M72 sebagai bagian dari pencegahan penularan TBC di Indonesia. Namun, dengan adanya berbagai respons penolakan maupun konspirasi di kalangan masyarakat, ia mengkritik kurangnya komunikasi pemerintah terkait vaksin ini kepada masyarakat. Pemerintah mesti belajar dari respons-respons penolakan vaksin di masa pandemi COVID-19 silam.

“Kita tahu komunikasi pejabat sekarang buruk. Mestinya harus ada sosialisasi dulu apa itu uji klinis fase III dan pahami trauma publik terhadap vaksinasi COVID tahun-tahun lalu, yang merasa ‘dipaksa’ dan ketakutan efek sampingnya (yang juga) diviralkan oleh oknum-oknum antivaksin dengan sengaja,” terangnya

Founder dan CEO CISDI, Diah Saminarsih, sependapat dengan hal itu. Data dari MAFINDO, misalnya, mencatat lonjakan misinformasi sebesar 88 persen, dari 1.221 kasus pada 2019 menjadi 2.298 pada 2020. Sementara sebelumnya hoaks lebih banyak menyasar isu politik, kini temanya meluas ke ranah kesehatan. Didorong oleh terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi dan membanjirnya informasi dalam waktu singkat.

“Pemerintah perlu menguatkan upaya pelibatan publik untuk melawan hoaks. Beberapa caranya dengan membentuk forum antihoaks yang melibatkan perwakilan kelompok masyarakat sipil, pemerintah, akademisi, hingga kelompok rentan, membuka crowdsourcing system untuk mengungkap atau melaporkan hoaks, hingga mengembangkan unit-unit pengecek fakta,” pungkasnya.

Vaksin M72 disebut sebagai terobosan penting untuk mencapai eliminasi TBC di Indonesia, negara dengan beban kasus yang tinggi. Menurut Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia, dr Henry Diatmo, MKM, pengembangan vaksin ini memang rumit dan memerlukan biaya besar, sehingga salah satunya dibiayai oleh Bill Gates.

Ia juga mengingatkan, jika tak diupayakan sejak sekarang, vaksin TBC bisa menjadi syarat bepergian ke luar negeri pada masa depan, seperti kebijakan Jepang terhadap TKI. Henry menegaskan uji klinis ini bukan bentuk percobaan terhadap manusia, melainkan proses sukarela yang telah melalui persetujuan resmi dari peserta.

“Dan berkaitan secara target, target secara global dan Indonesia sudah menyatakan bahwa eliminasi harus detail, targetnya 2030. Sekarang sudah 2025, tinggal 5 tahun lagi. Tapi kita masih peringkat dua dan angkanya masih di atas 1 juta. Nah, buat ngejar itu gimana caranya, harus ada inovasi, harus ada upaya lebih, harus ada bentuk-bentuk terobosan yang lain yang membantu mencapai target itu,” kata Henry kepada detikX.

Meski TBC tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan pembiayaan tertinggi di Indonesia, kunjungan berulang menyebabkan pembiayaan membengkak. Selama ini BPJS Kesehatan mencatat ada lebih dari 1 juta kunjungan setiap tahun. Jumlahnya meningkat drastis menjadi 2 juta kunjungan di rumah sakit pada 2024.

“Jika obat tidak teratur dikonsumsi atau putus pengobatan sebelum enam bulan, penderita bisa mengalami resisten obat dan akibatnya harus menjalani pengobatan lebih lama hingga 20 bulan. Ketidakpatuhan pasien tuberkulosis dalam mengonsumsi obat bisa berdampak terhadap pembiayaan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan untuk penyakit tuberkulosis,” kata Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah.

Kendati demikian, kini BPJS Kesehatan sudah berupaya meluncurkan dashboard monitoring inovasi pembiayaan tuberkulosis. Ini sistem kecerdasan buatan yang mampu mendeteksi kepatuhan penderita dalam minum obat, interoperabilitas data dalam sistem informasi kepesertaan, sosialisasi kepada fasilitas kesehatan bersama dengan Kementerian Kesehatan, serta melakukan monitoring dan evaluasi.

sumber: https://news.detik.com/x/detail/spotlight/20250520/Vaksin-Bill-Gates-di-Antara-Darurat-TBC/

Berita Tekait

Policy Paper