Direktur Indonesia Center for Legislative Drafting (ICLD) sekaligus Pakar Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fitriani Ahlan Sjarif menilai Undang-Undang BPJS dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) harus diatur dalam satu undang-undang tersendiri, bukan malah digabung dalam omnibus law RUU Kesehatan.
Menurutnya, RUU Kesehatan tidak memenuhi syarat keterhubungan untuk disatukan ke dalam undang-undang karena memiliki materi muatan yang terlalu luas dan tidak serumpun.
“RUU Kesehatan harusnya bersifat single subject rule dan ada uji keterhubungan. Harus ada argumentasi keterhubungan, dan relevansinya antara satu undang-undang dengan yang lain sebelum digabungkan dalam RUU," kata Fitriani Ahlan Sjarif dalam keterangan tertulis, Selasa (4/4).
Ia menjelaskan, judul dan perubahan parsial RUU Kesehatan omnibus law menimbulkan kebingungan pengaturan karena tidak sesuai dengan isinya.
"RUU Kesehatan bayangannya akan bicara soal kesehatan, tapi ternyata ruang lingkupnya mencabut 9 undang-undang, bahkan mengubah 4 undang-undang yang bukan termasuk lingkup kesehatan, yaitu sistem pendidikan tinggi, BPJS, SJSN, dan sistem pendidikan nasional. Tentu akan yang bentrok azas-azasnya,” tambahnya.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh RUU Kesehatan (Omnibus Law), regulasi tersebut dapat menguatkan kedudukan Kementerian Kesehatan dan menjadikan BPJS seakan lembaga subordinatif sehingga berpotensi menimbulkan tarik ulur kewenangan untuk menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan BPJS.
Padahal, kata dia, RUU Kesehatan disebut-sebut untuk mengurangi regulasi, namun dirinya menilai RUU tersebut justru berdampak sebaliknya. RUU Kesehatan justru mendelegasikan banyak pengaturan pelaksana sehingga tujuan mengurangi pengaturan malah tidak tercapai.
"Ini akan berpotensi membingungkan tujuan dibentuknya UU BPJS dan UU SJSN. Saya khawatir dengan RUU Kesehatan, mungkin fokusnya lebih ke kesehatan karena BPJS di situ hanya sebagai pelengkap. Perubahan parsial terhadap UU BPJS ini lebih baik dilakukan dengan RUU BPJS tersendiri,” tegas Fitriani.
Fitriani juga mengatakan bahwa DPR RI dan Pemerintah harus menghormati Mahkamah Konstitusi dengan melaksanakan Putusan MK Nomor 007/PUU-III/2005, yakni yang menentukan agar BPJS diatur dalam satu undang-undang tersendiri yang tidak bercampur dengan materi lainnya.
Hal itu karena, berdasarkan teori materi muatan dan dikuatkan penafsiran Putusan MK Nomor 007/PUU-III/2005 terhadap Pasal 5 ayat (1) UU SJSN.
Baca Juga: Tahun 2023, BPJS Kesehatan Perkuat Sistem Keamanan Data dan Pelayanan
“DPR RI dan Pemerintah seyogyanya tidak mencampuradukkan UU BPJS dan UU SJSN dalam RUU Kesehatan. BPJS seharusnya diatur ke dalam satu undang-undang yang tersendiri dan tidak bercampur pengaturannya dengan materi-materi lain," tuturnya.
"Terlebih. UU BPJS adalah amanat langsung dari UU SJSN. DPR RI dan Pemerintah hendaknya memahami bahwa penguatan kewenangan kementerian terhadap BPJS dapat menjadikan BPJS kurang leluasa dan menambah birokrasi dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara jaminan kesehatan,” pungkasnya.