Komitmen pemerintah untuk menghadirkan layanan kesehatan dasar yang merata dan memadai terus berlanjut. Kolaborasi dan integrasi antarsektor kesehatan terus diperkuat dengan harapan dapat mendekatkan sekaligus memperluas layanan kesehatan di seluruh pelosok negeri baik wilayah perkotaan, pedesaan, desa terpencil, dan desa sangat terpencil.
Semua itu diwujudkan dengan memperkenalkan Integrasi Layanan Primer (ILP) yang telah diujicobakan selama 90 hari di 9 provinsi pilihan. Program ini selanjutnya diluncurkan kemarin yang dilanjutkan dengan sosialisasi kepada masyarakat luas melalui webinar Launching Nasional Transformasi Layanan Primer yang berlangsung daring di kanal YouTube Kementerian Kesehatan.
Kepala Badan Kebijakan Perencanaan Kebijakan, Syarifa Liza Munira mengatakan layanan kesehatan primer merupakan kontak pertama masyarakat dengan pelayanan kesehatan. Di Indonesia sendiri, kebanyakan pelayanan kesehatan dilakukan di Puskesmas dan jejaringnya seperti posyandu dan posbindu dengan pendekatan berbasis komunitas dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian, Puskesmas menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan keapda masyarakat.
Guna mencapai layanan kesehatan terintegrasi, dibutuhkan perhatian khusus dan investasi besar mulai dari infrastruktur, sarana prasarana hingga pemberian layanan kesehatan guna meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Untuk itu, pengelolaan berbagai sumber pembiayaan baik pemerintah pusat, daerah, swasta dan masyarakat perlu diakselerasi dengan melakukan transformasi sistem kesehatan pilar keempat yaitu transformasi pembiayaan kesehatan guna menggenjot belanja kesehatan di Indonesia.
Data Nasional Health Account (NHA) tahun 2021, menunjukkan belanja kesehatan primer sebesar 252,4 triliun rupiah atau sekitar 37,2% dari total belanja kesehatan, dimana layanan kesehatan primer per kapita sebesar Rp 912 ribu, meningkat sekitar Rp 154 ribu dibanding tahun sebelumnya
Peningkatan juga terlihat dari presentase layanan kesehatan primer terhadap PDB, dimana di tahun 2021 layanan kesehatan primer terhadap PDB di Indonesia sekitar 1,49%, meningkat sedikit dibandingkan tahun sebelumnya. Meski begitu, menurutnya belanja kesehatan Indonesia masih rendah dibanding negara lainnya.
“Walaupun belanja layanan kesehatan primer terhadap PDB terus meningkat, dibandingkan negara lain belanja layanan kesehatan primer Indonesia masih rendah. Rata-rata besaran pengeluaran layanan primer terhadap PDB pada negara berpendapatan rendah sebesar 3,9% dan pada negara berpendapatan menengah ke bawah sebesar 2,6%,” ungkapnya.
Senada, Pungkas Bahjuri Ali, Direktur Kesehatan Gizi dan Masyarakat, Bappenas mengatakan, meski pengeluaran kesehatan Indonesia relatif lebih rendah dibanding negara lain, namun pembiayaan publik untuk kesehatan justru terus tumbuh, bahkan lebih tinggi dari pertumbuhan PDB Indonesia.
“Mengapa pertumbuhan pembiayaan kesehatan lebih tinggi tapi pengeluaran lebih rendah? Itu karena pembiayaan kesehatan kita masih sangat bergantung terhadap APBN. Selama APBN tidak tumbuh maka pengeluaran juga tidak akan tumbuh,”terangnya.
Menurutnya, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi keberlangsungan pembiayaan kesehatan ke depan. Sebab, pembiayaan kesehatan Indonesia di masa depan diperkirakan akan membengkak, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang besar serta peningkatan penduduk usia lanjut.
“Salah satu alternatifnya adalah penggalian sumber-sumber pembiayaan baru baik melalui APBN dengan ukurannya yang diperbesar atau mekanismenya yang diubah, maupun partisipasi dari swasta dan masyarakat,” ujarnya.
Strategi lain yang perlu dilakukan untuk mewujudkan pembiayaan kesehatan jangka menengah dan panjang adalah dengan menjaga pembiayaan yang sustainable dengan meningkatkan pembiayaan publik, meningkatkan pembiayaan non-publik, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembiayaan publik.
Prastuti Suwondo, Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat mengatakan di tahun 2022 belanja kesehatan mendapatkan pagu anggaran sebesar Rp 302,6 triliun. Anggaran tersebut dibagi dalam 3 skema yakni skema publik, skema asuransi kesehatan dan skema Pemda.
Pertama, untuk anggaran belanja kesehatan skema publik tanpa COVID-19 dialokasikan sebesar Rp 21,2 triliun. Anggaran tersebar yakni sekitar 39 % digunakan untuk upaya preventif seperti surveilans, pemantauan status kesehatan, Imunisasi, deteksi dini, KIE maupun preventif lainnya. Hal ini sejalan dengan upaya Kemenkes untuk memperkuat upaya promotif preventif melalui transformasi layanan primer.
“Jadi memang di pull oleh APBN untuk preventif baik itu ditingkat pusat maupun daerah,” terangnya.
Kemudian untuk belanja kesehatan skema asuransi kesehatan sosial didominasi oleh JKN dengan jumlah anggaran mencapai Rp 121,4 triliun atau 40,1%. Dari dana tersebut, sekitar 82,2 % atau 98,5 triliun, masih digunakan untuk pelayanan kesehatan sekunder atau kuratif, sementara untuk pelayanan kesehatan primer hanya berkisar 13,7 %.
“Tujuan dari pembiayaan kesehatan kedepan adalah memperbesar porsi ini (pelayanan kesehatan primer),” kata Prastuti.
Selanjutnya, belanja kesehatan skema pemda untuk pemerintah daerah dialokasikan sebesar Rp 141,9 triliun yang mana sebagian besar bersumber dari APBN. Anggaran tersebut digunakan untuk kegiatan kuratif dan promotif preventif.
“Sebagian besar sudah digunakan untuk promotif preventif, namun jumlahnya tidak besar. Melalui transformasi pembiayaan kesehatan kita akan perbesar. Kita harus benar-benar menggunakan anggaran besar ini untuk peningkatan kualitas kesehatan,” tuturnya.
Dalam skema pemda, lanjutnya, sebesar Rp 8 triliun dialokasikan untuk Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Puskesmas. Penyalurannya dilakukan secara bertahap, melalui transfer langsung ke rekening Puskesmas. Dana tersebut diarahkan untuk dana UKM, insentif UKM, managemen, PMT lokal, dan kalibrasi.
Hingga kini, sudah 4.945 Puskesmas dengan penyerapan diatas 50%. Disisi lain, masih ada 1.657 puskesmas dengan penyerapan 0 %, sehingga dikhawatirkan dapat menganggu pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat sekitar.
“Kami mendorong Pemda untuk melakukan produksi belanja kesehatan di daerah pada upaya promotif preventif, sehingga dapat diperoleh potret belanja kesehatan yang dapat digunakan untuk perencanaan dan penganggaran,” harapnya.
Liendha Andajani, Kepala Biro Perencanaan dan Anggaran mengatakan untuk mewujudkan layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau, Kementerian Kesehatan telah mengalokasikan anggaran yang cukup dari berbagai sumber.
Dana tersebut diantaranya dari APBN maupun sumber lainnya seperti rupiah murni, PNPB, pinjaman, hibah luar negeri maupun transfer baik Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun melalui alokasi dana dari penerimaan pajak yang disisihkan untuk pembiayaan Program tertentu atau earmarking dari dana bagi hasil tembakau, dana khusus serta earmarking untuk Dana Alokasi Umum (DAU) spesifik gran yang dikhususkan untuk bidang kesehatan.
Liendha mengatakan anggaran kesehatan tersebut saling mendukung dan bersinergi serta dikuatkan untuk meningkatkan koordinasi antara pusat dan lintas sektor.
Anggaran DAK misalnya, digunakan untuk pemenuhan sarana dan prasarana di Puskesmas, Puskesmas pembantu dan penguatan koordinasi antar layanan primer, kemudian untuk pinjaman dan hibah luar negeri dimanfaatkan untuk pemenuhan alat kesehatan di Puskesmas, Pustu maupun Posyandu.
“Seluruh anggaran ini bersifat stimulus, kita harapkan daerah dapat berkontribusi dan berpartisipasi serta menganggarkan melalui APBD atau dana desa untuk pemenuhan dan integrasi layana primer,” kata Liendha.
Di luar peningkatan infrastruktur dan sarana prasarana kesehatan, lanjutnya, anggaran kesehatan turut diperlukan untuk peningkatan kualitas dan kesejahteraan kader kesehatan.
Hal lainnya, digunakan untuk peningkatan pelayanan kesehatan yang adaptif dengan perkembangan zaman, salah satunya dengan memanfaatkan teknologi terkini untuk mempermudah sekaligus memperluas akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar.
“Investasi besar ini diharapkan dapat mewujudkan pelayanan kesehatan primer yang lebih baik dan tercapainya Universal Health Coverage (UHC),” sebutnya.
Puskesmas Tanara di Serang, Banten dan Puskesmas Mengwi 1 di Bangli, Bali merupakan Puskesmas yang mendapatkan dana BOK yang bersumber dari APBD. Kedua Puskesmas tersebut, menjadi contoh dalam pengelolaan dana BOK yang efektif dan efisien dengan melakukan inovasi kesehatan berbasis digital serta pemanfaatan teknologi informasi berupa website e-BLUD. Tujuannya untuk mempermudah dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang kian responsif, efektif, efisien serta murah.
sumber: kemenkes RI