Peserta BPJS Turun Kelas Terus Terjadi

REPUBLIKA.CO.ID, BALIKPAPAN – Kantor Cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Kota Balikpapan mencatat setidaknya 15 hingga 20 peserta mandiri setiap hari minta turun kelas layanan. Permintaan penurunan kelas layanan ini lantaran naiknya iuran BPJS yang mencapai 100 persen.

“Pada minta turun kelas, langsung dari kelas 1 ke kelas 3,” kata Kepala Cabang bpjs kesehatan Balikpapan, Sugiyanto, di Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (27/11).

Kelas 1 atau kelas 3, juga kelas 2, adalah level fasilitas yang diterima di rumah sakit bila pasien peserta bpjs kesehatan harus menjalani rawat inap. Fasilitas kelas 1, misalnya, maka pasien mendapat kamar perawatan pribadi. Pada fasilitas kelas 3, pasien dirawat di bangsal atau ruangan besar bersama-sama dengan pasien lain.

Menurut data BPJS Kesehatan Kota Balikpapan, jumlah peserta mandiri saat ini sebanyak 234.239 jiwa yang terdiri atas kelas 1 sebanyak 42.601, kelas 2 sebanyak 54.245 dan kelas 3 mencapai 137.393 jiwa.

“Jumlah itu merupakan data terbaru yang kami himpun hingga November 2019,” ujar Sugiyanto. Dari jumlah itu sebanyak 93.930 peserta dari ketiga kelas menunggak iuran.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menetapkan iuran peserta mandiri kelas 1 adalah Rp 160 ribu per bulan per orang, kelas 2 Rp 110 ribu per orang per bulan, dan kelas 3 Rp 42 ribu per orang per bulan. Sebelumnya, untuk Kelas 1 Rp 80 ribu, kelas 2 Rp 51 ribu, dan kelas 3 Rp 25.500.

“Kalau sendirian mungkin ringan saja, tapi kalau satu keluarga lumayan juga bayarnya kalau kelas 1 itu,” kata Rahmat, warga Manggar Baru, yang mengaku terpaksa menurunkan kelas layanan.

Berbeda dengan BPJS Ketenagakerjaan di mana premi atau iuran yang dibayarkan peserta menjadi tabungan dan pada saatnya kelak, atau jatuh tempo, dapat dicairkan kembali, iuran BPJS Kesehatan adalah partisipasi gotong royong. Dana yang disetor tidak akan terakumulasi dan kapan-kapan bisa diambil kembali. Dana iuran itu digunakan sebagai wujud gotong royong saling menolong antarsesama peserta.

“Padahal, kita kan tidak selalu sakit, dan tidak berharap untuk sakit, apalagi sampai harus dirawat di rumah sakit,” kata Rahmat.

Terpisah, Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Gowa, Muchlis, mengatakan, Pemkab Gowa, Sulawesi Selatan, tetap mempertahankan kuota pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat tidak mampu melalui program penerima bantuan iuran (PBI) APBD. Hal itu telah diputuskan dalam kebijakan umum anggaran daerah.

“Hingga detik ini apa yang telah ada dalam kebijakan umum anggaran daerah pada 2020 dan telah dibahas di DPRD untuk kuota jaminan kesehatan pada masyarakat tidak mampu, tetap kita pertahankan,” kata dia di Gowa, Sulawesi Selatan.

Muchlis mengatakan, meski terjadi kenaikan iuran BPJS Kesehatan berdasarkan aturan pemerintah pusat. “Intinya komitmen pemerintah daerah, yaitu tetap mengamankan penduduk tidak mampu untuk meng-cover PBI APBD harus dilakukan,” ujar dia.

BPJS Kesehatan Kupang, Nusa Tenggara Timur, menganggap kenaikan iuran merupakan momen yang pas untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Kepala BPJS Kesehatan Cabang Kupang Fauzi Lukman Nurdiansyah mengatakan, dengan kenaikan iuran, keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indoensia Sehat (JKN-KIS) tetap terjaga.

Output-nya tentu saja perbaikan layanan di faskes, ini yang kita kejar sekarang, agar hal-hal yang menjadi keluhan sebelumnya bisa diminimalisasi seminimal mungkin,” kata dia.

Menurut Fauzi, adanya penyesuiaan iuran akan berdampak terhadap perbaikan dari aspek pemanfaatan, kualitas layanan kesehatan. “Selain itu juga dari sisi manajemen kepersertaan juga akan diperbaiki sehingga menghasilkan pelayanan yang optimal dengan ketersediaan sarana prasarana, layanan, obat-obatan, dan alat kesehatan,” ujar dia.

Saat ini jumlah kepesertaan JKN-KIS di NTT sudah mencapai 4,6 jutaan jiwa dari jumlah penduduk di NTT yang kini mencapai 5,4 jutaan jiwa. Artinya, tersisa kurang lebih 800-an warga NTT yang belum ter-cover layanan kesehatan itu.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 3 jutaan peserta JKN-KIS atau 65,60 persen ditanggung oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Sedangkan, secara nasional dari jumlah sebanyak 221 juta peserta JKN-KIS, tercatat paling banyak peserta merupakan PBI, yakni 96,8 juta peserta APBN dan 30,7 juta peserta dibayarkan dari APBD.

n antara ed: mas alamil huda

Berita Tekait

Policy Paper