Soal Defisit BPJS Kesehatan, Ini Rekomendasi KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan sejumlah rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan yang mencapai Rp12,2 triliun pada 2018.

"Pertama, Kemenkes mempercepat penyusunan PNPK (Pedoman Nasional Praktik Kedokteran) esensial dari target 80 jenis PNPK. Juli 2019 baru tercapai 32 PNPK," ujar Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, saat jumpa pers, di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/3).

Menurut dia, ketiadaan PNPK akan mengakibatkan unnecessary treatment atau pengobatan yang tidak perlu. "Kasus klaim katarak 2018 dari total klaim sebesar Rp2 triliun, maka diestimasi unnecessary treatment maksimal Rp200 miliar. Di tahun 2018 terdapat kasus unnecessary bedah caesar dan fisioterapi," ujar Pahala.

Kedua, lanjut dia, opsi pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik akibat gaya hidup, seperti jantung, diabetes, kanker, stroke, dan gagal ginjal. Menurut Pahala, total klaim penyakit katastropik adalah sebesar 30 persen dari total klaim pada 2018 sebesar Rp94 triliun, yaitu Rp28 triliun.

“Dengan diatur PNPK penyakit katastropik, maka potensi unnecessary treatment sebesar 5 sampai 10 persen atau sebesar Rp2,8 triliun dapat dikurangi," kata Pahala.

Ketiga, KPK meminta pemerintah mengakselerasi skema koordinasi manfaat (Coordination of Benefit/CoB) dengan asuransi kesehatan swasta. Data Dewan Asuransi Indonesia menyatakan 1,7 persen penduduk Indonesia yang memiliki asuransi atau sekitar 4,5 juta orang atau sekitar 10 persen dari total peserta PPU (Pekerja Penerima Upah) nonpemerintah dan PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) yang berjumlah 45 juta peserta.

Pahala mengungkapkan total beban klaim PPU nonpemerintah dan PBPU tahun 2018 sebesar Rp34,5 triliun. Menurutnya, dengan asumsi besaran CoB seperti yang diterapkan di Jepang dan Korea Selatan, yaitu 20-30 persen dapat mengalihkan beban klaim peserta PPU nonpemerintah dan PBPU sebesar Rp600 milar hingga R900 miliar kepada asuransi swasta.

Keempat, KPK meminta Kemenkes mengimplementasikan co-payment 10 persen sesuai Permenkes Nomor 51 Tahun 2018. Menurut Pahala, dengan co-payment 10 persen dari total tagihan peserta mandiri sebesar Rp22 triliun di tahun 2018 akan terjadi penghematan sebesar Rp2,2 triliun.

“Praktik co-payment di Jepang dan Korea Selatan sebesar 20-30 persen. Jika best practice ini diterapkan, maka potensi penghematan yang didapatkan senilai Rp4-6 triliun," ujarnya.

Kelima, KPK mendorong pemerintah mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit. Pahala mengatakan, hasil piloting pada 2018 mendapatkan empat dari enam rumah sakit tidak sesuai kelas dan mengakibatkan pemborosan pembayaran klaim sebesar Rp33 miliar per tahun.

Dia menambahkan hasil tinjauan Kemenkes pada 2018, dari 7.000 rumah sakit, ditemukan 898 rumah sakit yang tidak sesuai kelas. "Jika dilakukan perbaikan penetapan kelas, terdapat estimasi penghematan beban jaminan BPJS Kesehatan sebesar Rp6,6 triliun," kata Pahala.

Keenam, KPK mendorong pemerintah untuk menindaklanjuti verifikasi klaim untuk mengatasi fraud atau kecurangan di lapangan berupa administrasi atau pengembalian klaim, perdata atau pemutusan kontrak kerja sama, dan pidana.

Seperti diketahui, Mahkamah Agung (MA) baru saja mengabulkan uji materi Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No.82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, khususnya aturan kenaikan iuran BPJS yang mencapai 100 persen per 1 Januari 2020. Dalam putusannya, MA membatalkan aturan kenaikan iuran BPJS seperti tercantum dalam Pasal 34 ayat (1), (2) Perpres No. 75 Tahun 2019 itu.

Berita Tekait

Policy Paper