Menagih Perbaikan Sistem Jaminan Kesehatan

Merdeka.com - Timboel Siregar mendapat laporan. Belum terlalu lama. Ada seorang bayi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan ditolak rumah sakit. Kondisi sang bayi saat itu tengah muntah darah. Dari informasi yang diterimanya, sang orang tua bayi diminta melakukan rawat jalan.

Melihat kondisi bayi yang muntah darah, rawat jalan bukanlah pilihan. Sebab, pasien tidak akan mendapat fasilitas pendukung yang maksimal untuk keselamatan nyawanya. Kondisi ini yang membuat Timboel marah. Memandang pesimis janji pemerintah dalam memberikan jaminan kesehatan pada rakyatnya.

"Ini (kasus) riil ini. Baru tadi. Saya bilang ini keterlaluan. Walaupun dokter bilang ini masih bisa rawat jalan, tapi kalau muntah darah apalagi anak masih bayi ini kan dia (BPJS Kesehatan) harus bisa mencarikan (kamar perawatan)," ujar, Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch pada merdeka.com, pekan lalu.

Kasus semacam harusnya tidak terulang lagi di hari depan. Timboel masih punya harapan itu. Seiring rencana penghapusan kelas bagi peserta BPJS. Rencana pemerintah, kelas 1, 2 dan 3 bagi peserta BPJS akan dihilangkan. Tertuang dalam UU No.40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 23 ayat 4. Bunyinya 'dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di RS, maka kelas pelayanan di RS diberikan berdasarkan kelas standar.'

Inti dari perubahan menjadi kelas standar adalah memastikan peserta JKN mudah mengakses tempat tidur atau ruang perawatan. Tak ada diskriminasi. Selama ini pasien umum lebih didahulukan ketimbang pasien BPJS. Jadi bukan hanya mengubah regulasi, tapi juga sistem dan pola pikir untuk keadilan bagi peserta BPJS.

"Ini yang menurut saya perubahan standar ini ada manfaatnya. Kalau sekarang kelas 1, 2, 3, ada persoalan ini. Kita harapkan nanti kelas standar tidak ada lagi."

Dalam jurnal Health Financing in Indonesia yang diterbitkan Bank Dunia pada 2009, dipaparkan cikal-bakal jaminan kesehatan masyarakat sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Pada 1938, pegawai pemerintah dan keluarganya mendapat santunan biaya perawatan rumah sakit dari pemerintah Belanda.

Di era awal kemerdekaan Indonesia, Menteri Kesehatan saat itu Prof GA Siwabessy menyelenggarakan program asuransi kesehatan semesta atau universal health insurance. Mengacu yang diterapkan di negara maju. Saat itu pesertanya adalah pegawai negeri sipil dan keluarganya. Pada masa Presiden Soeharto, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1968 tentang program jaminan kesehatan bagi pegawai negeri dan penerima pensiun serta ABRI. Pemerintah membentuk Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK).

Sekitar tahun 1984 pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengubah status BPDPK menjadi BUMN. Yaitu Perum Husada Bakti (PHB). Cakupannya diperluas. Menjamin kesehatan PNS, pensiunan PNS, veteran, perintis kemerdekaan, dan anggota keluarganya.

Peraturan Presiden No 69/1991 terbit dan menggantikan Keppres No 230/1968. Isinya peserta asuransi kesehatan menjadi dua kategori. Ada yang wajib yakni PNS. Serta peserta sukarela untuk karyawan BUMN.

Pemerintah Kembali mengeluarkan Peraturan No 6/1992. Mengubah Perum Husada Bakti menjadi PT Askes (Persero), yang menambahkan satu program Askes Komersial untuk menjaring karyawan BUMN. Sistemnya mirip Asuransi Kesehatan Sosial. Namun premi dibayar penuh oleh karyawan dengan persentase sesuai dengan gaji dan tidak ada subsidi premi dari pemerintah ataupun pemberi kerja.

Terus mengalami perubahan, muncul Undang-Undang No 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Serta PP No 14/1992 dan PP No 36/1994. Isinya mewajibkan perusahaan dan tenaga kerja mengikuti program Jamsostek. Era 1997-1998, muncul kebijakan Jaring Pengaman Sosial yang memberikan bantuan untuk masyarakat miskin. Pada 2004, pemerintah mengeluarkan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin (PJKMM) yang kemudian dikenal dengan Askeskin untuk menjangkau 60 warga miskin dan iurannya dibayarkan oleh pemerintah pusat.

Sekitar 2008, pelayanan kesehatan disempurnakan dengan program Jaminan Kesehatan Sosial Masyarakat (Jamkesmas). Menyasar masyarakat miskin seluruh Indonesia yang iurannya dibayarkan pemerintah. Program ini dibentuk di 200 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dikeluarkan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Pada 2011, pemerintah mengamanatkan PT Askes (Persero) untuk menjadi penyelenggara program jaminan sosial. Tepat 1 Januari 2014, PT Askes diubah menjadi BPJS Kesehatan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).

Jejak Panjang perubahan sistem jaminan kesehatan di Indonesia bertujuan meningkatkan layanan dan kualitas. Serta menjangkau lebih banyak warga masyarakat. Dari data terbaru pada Maret 2021, jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) mencapai 82,3 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah peserta terus dikejar hingga mencapai target Universal Health Coverage (UHC) sebesar 98 persen. Targetnya, tercapai pada 2024.

Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rahmad Handoyo menuturkan, penghapusan kelas dan menyamakan menjadi kelas standar bagian dari pembenahan sistem dalam jaminan Kesehatan.

"Ya tentu mengapa diberikan kelas standar itu untuk menjawab keluhan dan kendala ya," tegasnya pada merdeka.com.

Peserta BPJS juga tidak boleh lagi dipandang sebelah mata oleh pihak Rumah Sakit. Selama ini, pasien BPJS dianggap anak tiri dengan layanan Kesehatan minimal. Berbeda dengan pasien non BPJS. Handoyo menegaskan, BPJS saat ini adalah raja di mata rumah sakit. Dia menyebut, 70 persen hidup RS berasal dari uang peserta BPJS.

Jika layanan terhadap pasien BPJS tidak maksimal, rumah sakit harus diberi teguran. Dia mendorong direksi BPJS untuk mengurai persoalan yang kerap dikeluhkan peserta. Mulai dari antre berjam-jam hingga fasilitas kesehatan.

"Saya berharap BPJS itu tegas, kalau ditemukan rakyat tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri, BPJS bertindak keras, hentikan kerja sama dengan RS," tegasnya.

Pakar Kesehatan Masyarakat Prof Hasbullah Thabrany menilai, pelayanan BPJS Kesehatan yang kerap disebut buruk, pada dasarnya dikarenakan permasalahan besaran pembayaran. Jika BPJS membayar rumah sakit dan dokter untuk pelayanan dengan harga yang layak, maka rumah sakit akan berlomba melayani peserta BPJS Kesehatan.

"Kalau BPJS membayar rumah sakit dengan harga yang laik, tidak mungkin rumah sakit mau membeda-bedakan, pasti dikasih karpet merah, kan begitu. Logik banget itu," jelasnya.

Permasalahan pembayaran ini merembet ke sisi layanan, termasuk pendaftaran. Hasbullah mengakui sistem antrean rumah sakit dan puskesmas banyak yang belum baik. Namun kembali, jika BPJS Kesehatan membayar mereka dengan laik, permasalahan ini akan menjadi perhatian untuk dibenahi.

"Banyak peserta datang pagi baru dilayani sore. Kembali, kalau BPJS bayar dengan baik, tentu rumah sakit, klinik, puskesmas harus pasang karpet merah supaya mereka bisa melayani degan sebaik-baiknya. Kalau melayani sebaik-baiknya mereka dapat uang lebih banyak, kan begitu sederhana saja," bebernya.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Muttaqien memastikan, pihaknya akan terus mendorong keberlanjutan, kualitas, dan keadilan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Salah satunya dengan penghapusan kelas kepesertaan.

Menurutnya, dasar kebijakan ini ialah Undang-Undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional di Pasal 23 Ayat 4 yang menyatakan dalam hal peserta membutuhkan rawat inap di RS, maka kelas pelayanan di RS diberikan berdasarkan kelas standar.

Sementara, berdasarkan Perpres 64 tahun 2020 di Pasal 54 B, standarisasi diterapkan secara bertahap sampai dengan paling lambat tahun 2022. Sejauh ini kajian sedang dilakukan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.

"Dalam proses rencana, pelaksanaan KRIS JKN akan dilakukan secara bertahap dan bertransisi sebelum menjadi kelas tunggal JKN sebagaimana amanah UU SJSN," ucapnya.

Anggota Komisi IX Saleh Daulay mengatakan, prinsip jaminan sosial adalah masyarakat bisa mengakses pelayanan kesehatan secara keseluruhan dengan standar yang sama. Sebagai perwujudan rasa keadilan sosial. Sehingga, jangan ada kesan ada pasien yang bisa mendapat akses kesehatan lebih bagus dibanding lainnya. Sebagai penyelenggara, BPJS harus benar-benar menjamin rasa keadilan. Itu sebagai dasar dan amanat undang-undang.

Fenomena yang terjadi hari ini, ada pelayanan yang berbeda karena ada kelas kelas 1, 2 dan kelas 3 serta masyarakat umum yang menggunakan asuransi. Mengesankan di luar pasien BPJS lebih diutamakan.

"Itu melanggar sebenarnya. Tidak boleh dan harus diperbaiki oleh pemerintah. Kalau nanti misalkan semuanya sudah standar sama yang mesti semuanya sama. Memang lagi tidak boleh berbeda-beda," tegasnya.

Berita Tekait

Policy Paper