BPJS Kesehatan di Pusaran RUU Kesehatan

Jakarta - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. BPJS Kesehatan memiliki tugas untuk menyelenggarakan jaminan Kesehatan Nasional bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama untuk keluarga Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/Polri, Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan Badan Usaha lainnya ataupun rakyat biasa.

Menurut UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS Kesehatan merupakan penyelenggara program jaminan sosial di bidang kesehatan yang menjadi salah satu bagian dari lima program dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yaitu Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian.

Dalam perjalanannya, BPJS mengalami pasang surut yang tidak mudah diatasi, terutama berkaitan dengan iuran peserta, penanganan atau pelayanan pasien di pelayanan kesehatan hingga defisit keuangan yang terjadi menahun. Namun persoalan keuangan setelah pemerintah turun tangan dan adanya penataan di tingkat kepesertaan melalui penggunaan teknologi informasi, kondisi BPJS Kesehatan semakin baik dan sekarang pada posisi sehat.

Dari sisi pemerintah tentu dengan meningkatnya kepesertaan dan ragam pelayanan serta jenis penyakit, keberadaan BPJS Kesehatan perlu diperkuat melalui peraturan perundangan dan kebijakan terkini demi menjaga kualitas pelayanan pada peserta. Untuk itulah pemerintah melakukan perubahan peraturan perundang-undangan melalui RUU Kesehatan dengan inisiasi dari DPR --dan pemerintah merespons melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang saat ini sedang dibahas di Panja Komisi IX. Dalam pembahasan RUU Kesehatan ini, peran publik sangat diperlukan untuk menjaga marwah BPJS Kesehatan dan penguatan Kementerian Kesehatan sebagai regulator.

Substansi RUU terhadap BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan dibentuk dengan modal awal dari APBN dan selanjutnya memiliki kekayaan tersendiri yang meliputi aset BPJS Kesehatan dan aset dana jaminan sosial dari sumber-sumber sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. Kewenangan BPJS Kesehatan meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia. BPJS Kesehatan merupakan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), sehingga pelaksanaan tugasnya dipertanggungjawabkan kepada Presiden, sebagai kepala pemerintahan negara, bukan kepada Menteri. Marwah ini harus tetap ada di RUU Kesehatan yang saat ini sedang dibahas. Artinya BPJS Kesehatan harus selalu berada di pusaran pembahasan RUU Kesehatan.

Dalam perjalanannya, BPJS Kesehatan banyak berhadapan dengan fraud. BPJS Kesehatan harus berjibaku dengan fraud yang banyak dilakukan oleh berbagai pihak mulai tenaga kesehatan hingga pelayanan kesehatan. Untuk itu di dalam RUU Kesehatan masalah fraud terhadap BPJS Kesehatan perlu menjadi perhatian Panja RUU Kesehatan dan Kementerian Kesehatan. Sanksi tegas terkait fraud harus dinyatakan secara jelas di RUU Kesehatan, termasuk sanksi pidananya. Serangan fraud sudah terjadi sejak awal berdirinya BPJS Kesehatan hingga sekarang.

Terkait dengan RUU Kesehatan yang sudah masuk pembahasan DIM, banyak mendapat kritikan dari berbagai pihak, termasuk kekhawatiran manajemen BPJS Kesehatan, dokter dan tenaga medis, industri farmasi dan sebagainya. Mereka merasa tidak diajak bicara oleh Kementerian Kesehatan saat pembuatan DIM dan ketika membaca DIM yang ada terkaget-kaget karena seolah-olah banyak kewenangan yang akan diambil oleh Kementerian Kesehatan. Persoalan akan selesai dengan komunikasi yang akan ditangani langsung oleh Kementerian Kesehatan.

Dari pembicaraan kami bertiga (saya, Timboel Siregar, dan Faisal Basri) dengan Menkes Budi Sadikin beberapa waktu yang lalu sambil makan malam, Menkes menjelaskan bahwa Kementerian Kesehatan tidak akan mengambil kewenangan BPJS Kesehatan atau siapapun, termasuk masalah iuran dan hal-hal lain yang terkait dengan masalah keuangan. BPJS Kesehatan sebagai BHMN tetap bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Terkait dengan masalah kebijakan keuangan, BPJS Kesehatan juga tetap mengacu pada kebijakan Kementerian Keuangan.

Menteri Kesehatan juga menyatakan bahwa Menkes melalui UU Kesehatan yang baru, hanya ingin menekankan bahwa regulator bidang Kesehatan adalah Kemenkes. Menkes melalui UU Kesehatan yang baru, salah satunya ingin mengatur mekanisme pendidikan dan penempatan tenaga Kesehatan (dokter) di seluruh Indonesia sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta tidak tergantung pada organisasi profesi. Peran organisasi profesi hanya sampai batas rekomendasi bukan kewenangan seperti saat ini.

Di sektor Pendidikan Tenaga Kesehatan, akan diatur bahwa tenaga kedokteran yang akan mengambil spesialisasi tidak lagi harus kuliah di perguruan tinggi dan membayar uang kuliah sangat mahal, tetapi mereka harus kuliah lapangan menjadi resident doctor di rumah sakit. Mereka kuliah sambil bekerja mendampingi dokter spesialis dan dibayar oleh rumah sakit sebagai tenaga kesehatan. Ketika sudah dinyatakan lulus yang bersangkutan langsung menjadi tenaga Kesehatan spesialis yang penempatannya diatur oleh Kementerian Kesehatan. Kebijakan model ini diharapkan dapat meratakan keberadaan dokter spesialis di seluruh fasilitas Kesehatan di Indonesia.

Harga obat dan standarisasi rumah sakit yang selama ini menghantui publik juga harus diatur oleh Kementerian Kesehatan bukan oleh industri farmasi, tenaga kesehatan, serta rumah sakit. Dampak lemahnya regulator terlihat saat ini bahwa ternyata harga obat di Indonesia lebih mahal dari Malaysia dan beberapa negara ASEAN lainnya. Begitu pula dengan biaya rumah sakit. Jadi jangan heran kalau banyak warga Indonesia memilih berobat ke Malaysia atau luar negeri. Untuk itu biaya perawatan dan obat, standar rumah sakit dan alokasi dokter spesialis akan diatur sepenuhnya oleh Kemenkes.

Penyebabnya bukan hanya masalah kecerdasan tenaga kesehatan dan kecanggihan peralatan kedokterannya, tetapi masalah banyaknya variabel komponen biaya di Indonesia yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Di lapangan, beban ini menjadi beban BPJS Kesehatan dan ini yang harus ditangani oleh Kementerian Kesehatan demi sehatnya BPJS Kesehatan. Padahal hidup BPJS Kesehatan selain dari APBN juga dari dana peserta. Saat keuangan BPJS Kesehatan sedang baik, seperti saat ini, rawan menjadi incaran para "tikus" yang siap mencuri dana Kesehatan masyarakat yang dikelola oleh BPJS Kesehatan dengan alasan apapun.

Langkah Pemerintah

Pembahasan BPJS Kesehatan di RUU Kesehatan, secara khusus ada pada Pasal 423 hingga Pasal 425 tetapi intinya RUU Kesehatan jangan sampai melemahkan posisi BPJS Kesehatan tetapi RUU Kesehatan justru harus memperkuat BPJS Kesehatan menjadi lebih kuat dan dapat menjadi pelindung aktif publik. Independensi dengan bertanggung jawab pada Presiden merupakan suatu yang tidak dapat ditawar tawar lagi, karena BPJS Kesehatan memiliki tanggung jawab untuk mengelola dana amanat para peserta yang dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta sesuai prinsip penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2011.

BPJS Kesehatan di tengah pusaran pembahasan RUU Kesehatan harus dipastikan bahwa seluruh Panja Komisi IX DPR dapat memahami bahwa BPJS Kesehatan merupakan alat pelindung masyarakat di tengah semakin banyak dan beragamnya jenis penyakit sebagai dampak memburuknya kualitas lingkungan, pola makan masyarakat, kemiskinan, serta meningkatnya kelahiran dan usia manula membuat BPJS Kesehatan harus selalu ada mendampingi masyarakat.

Agus Pambagio dan Safira Hani Wasiat pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen

sumber: detik.com

Berita Tekait

Policy Paper