Jakarta - Pemerintah Indonesia terus berupaya mewujudkan SDM berkualitas melalui sektor kesehatan agar dapat lebih produktif. Adapun cara ini dilakukan dengan peningkatan dan strategi anggaran kesehatan.
"Manakah yang lebih harus didahulukan, kesehatan atau ekonomi? Bagi Saya, keduanya sama pentingnya dan harus berjalan bersama," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam keterangan tertulis, Selasa (26/9/2023).
Dia menjelaskan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2024 Kementerian Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan anggaran kesehatan sebesar Rp 187,5 triliun atau setara dengan 5,6% dari APBN.
Menurutnya, alokasi dana untuk sektor kesehatan cenderung mengalami peningkatan selama lima tahun terakhir, terutama saat penanganan COVID-19 dan menyesuaikan dengan kebutuhan kesehatan.
Lebih rinci, Sri Mulyani menjelaskan pada 2020 anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 172,3 triliun. Tahun 2021 menjadi Rp 312,4 triliun, tahun 2022 menjadi Rp 188,1 triliun, dan tahun 2023 sebesar Rp 172,5 triliun.
"Dengan anggaran kesehatan tahun 2024 sebesar Rp 187,5 triliun, maka jumlahnya meningkat 8,7% atau Rp 15,0 triliun dibandingkan outlook anggaran kesehatan tahun sekarang," tuturnya.
Dia menjelaskan berdasarkan hasil kesepakatan dengan DPR, anggaran kesehatan 2024 dialokasikan melalui Belanja Pemerintah Pusat (BPP) dengan rincian kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp 107,2 triliun, belanja non-K/L senilai Rp 14,2 triliun, dan melalui transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 66,1 triliun.
"Adapun alokasi Anggaran Kesehatan tersebut diarahkan antara lain untuk pertama, penurunan prevalensi stunting. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, angka stunting di Indonesia terus menurun. Tahun 2014 sebesar 37% , tahun 2021 menurun tajam menjadi 24,4%, dan tahun 2022 lalu berkurang menjadi 21,6%," ungkapnya.
Sri Mulyani mengatakan untuk mencapai target 14%, pemerintah terus berupaya untuk melakukan penajaman lokasi dan intervensi prevalensi stunting di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. Sekaligus memperkuat sinergi berbagai institusi baik pemerintahan pusat, daerah, dan swasta.
Kedua, transformasi layanan primer yang bersifat promotif dan preventif, di antaranya pengobatan dan penangan terhadap ibu hamil dengan kekurangan energi kronis. Kebijakan ini juga turut membantu menurunkan angka stunting.
Ketiga, transformasi layanan rujukan, yaitu dengan pemerataan akses peningkatan layanan prioritas penyakit jantung, stroke, kanker dan ginjal. Pencapaian transformasi yang dilakukan pemerintah berhasil membangun 15 rumah sakit pratama untuk penguatan layanan rujukan di daerah terpencil. Selain itu, 16 rumah sakit vertikal telah bekerja sama dengan institusi atau rumah sakit internasional.
Keempat, transformasi sistem ketahanan nasional. Pemerintah terus mendorong inovasi alat kesehatan buatan dalam negeri dan penjaminan produk dalam negeri melalui pengadaan barang dan jasa.
"Hasilnya, sejak 2021 lalu, delapan dari 10 bahan baku obat telah diproduksi di dalam negeri. 38 industri farmasi nasional difasilitasi untuk mengganti sumber lima bahan baku obat dari dalam negeri," ungkapnya.
Adapun untuk kelima yakni transformasi sistem pembiayaan. Meliputi insentif tenaga kesehatan serta perluasan cakupan layanan bagi masyarakat dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023.
Keenam, transformasi SDM kesehatan, yaitu dengan meningkatkan cakupan tenaga kesehatan. Saat ini, 91% puskesmas telah dilengkapi minimal satu orang dokter. Kemudian 61,5% RSUD telah dilengkapi tujuh jenis dokter spesialis, dan menerbitkan 236.075 surat tanda registrasi (STR) tenaga kesehatan.
Sementara itu, ketujuh transformasi teknologi kesehatan. Mengenai transformasi teknologi kesehatan ini, Sri Mulyani mengatakan perkembangan teknologi di bidang kesehatan yang kian maju dan pesat harus dijawab dengan kemampuan Indonesia.
Menurutnya, kemajuan tersebut tidak hanya di bidang rumah sakit, namun juga teknologi di bidang industri farmasi juga harus mampu mengimbangi.
"Meski anggaran kesehatan meningkat, namun yang paling penting terletak pada transparansi, efisiensi dan tepat sasaran. Anggaran kesehatan tidak lagi berbasis mandatory spending melainkan berbasis kinerja," ungkapnya.
Menurutnya, hal itu disebabkan karena pengeluaran biaya kesehatan per orang per tahun selama ini selalu tumbuh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekonomi per orang per tahun dari suatu negara.
Sementara itu, Direktur Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Putut Hari Satyaka menyampaikan strategi untuk menyiasati masalah anggaran.
Dia mencontohkan sektor belanja kesehatan dari negara lain yakni dengan konsep pendanaan kesehatan berbasis kinerja, bersumber dari pencatatan pendanaan transparansi, alokasi yang baik, dan pemanfaatannya.
"Strategi dalam menyiasati keterbatasan anggaran kesehatan yang disampaikan yaitu pertama, membuka sumber lain yang didapat dari swasta atau filantropis. Kedua, melalui penentuan skala prioritas yang jelas, dan yang ketiga adalah pentahapan. Saat ini, pemerintah membuka partisipasi publik dalam penyusunan aturan turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan," tutup Putut.