50% Warga Cirebon Gunakan Jamkesmas

cirebonCIREBON, (PRLM).- Sedikitnya 50 persen warga Kota Cirebon yang jumlahnya mencapai lebih dari 300 ribu jiwa, termasuk dalam kategori miskin. Sebagai salah satu indikasinya, hampir 150 ribu warga masuk program jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) dan jaminan kesehatan daerah (jamkesda).

Menurut Kepala Bidang Jaminan dan Sarana Kesehatan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Cirebon Zulfikar, warga Kota Cirebon yang tercatat sebagai peserta Jamkesmas 68.942 jiwa dan jamkesda 80.290 jiwa. "Untuk mengcover warga yang tidak tercatat dalam program jamkesmas, Pemerintah Kota Cirebon mengalokasikan anggaran Rp 7 miliar tahun ini," ujarnya.

Menurut dia, anggaran sebesar Rp 7 miliar itu juga diperuntukkan bagi warga yang hanya memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Diakui Zulfikar, data warga yang memiliki SKTM bisa saja bertambah. Namun untuk jumlah peserta jamkesda dan besaran biaya yang dialokasikan tahun ini, lanjut dia, tidak berbeda dengan tahun sebelumnya.

"Kalau data jamkesda dan jamkesmas kan sudah tercata pasti. Sedangkan warga pemilik SKTM tidak bisa diprediksi karena terkait dengan dinamika sosial ekonomi masyarakat," ucapnya.

Meski jumlah peserta sudah tercatat sama dengan tahun lalu, namun sampai saat ini, Zulfikar mengaku pihaknya belum memperoleh informasi besaran anggaran yang akan diterima Kota Cirebon untuk Jamkesmas. "Kemenkes kan belum meluncurkannya secara resmi. Kemungkinan awal Maret nanti baru diluncurkan dan diketahui alokasi anggarannya," katanya.

Sementara itu, Wakil Direktur RSUD Gunung Jati, Lucya Agung Susilawati yang dihubungi secara terpisah mengungkapkan, hampir 50 persen dari sekitar 16.000 pasien rawat inap di RSUD Gunung Jati tercatat sebagai pasien SKTM. "Angka pastinya pasien rawat inap yang menggunakan SKTM 47 persen," katanya.

Sedangkan untuk pasien rawat jalan tercatat sekitar 40% yang berasal dari kepesertaan Askes. "Sementara untuk pasien rawat jalan, kami menerima setidaknya 500 pasien per hari atau sekitar 40% yang berasal dari warga miskin," ungkapnya.

Ditegaskan Lucya, pihak rumah sakit tidak membedakan pelayanan antara pasien miskin dan tidak. "Kami tidak membeda-bedakakan pelayanan antara pasien miskin dan tidak. Kalaupun ada perbedaan yakni dalam penanganan atau pemberian obat yang berbeda bagi pasien umum dengan SKTM, karena pasien SKTM memperoleh obat generik sesuai aturan yang berlaku," katanya.

Lucya hanya meyayangkan sikap warga tertentu yang tidak jujur dalam memberikan data. Menurut dia, tidak sedikit pasien yang telah memperoleh pelayanan umum, namun saat melakukan pembayaran justru mengaku miskin. "Ada saja pasien yang ketika pertama kali datang tidak melengkapi diri dengan SKTM sehingga memperoleh pelayanan umum. Namun ketika memasuki masa akhir, terutama saat pembayaran, tiba-tiba mengaku miskin dan mengajukan SKTM," katanya.

Padahal, lanjutnya, ada penanganan yang berbeda bagi pasien umum dengan SKTM, seperti dalam pemberian obat di mana pasien SKTM memperoleh obat generik sebagaimana ketentuan yang berlaku. Menyikapi fenomena miskin dadakan, pihaknya tidak bisa berbuat banyak dan tetap melayani kebutuhan pasien asalkan sesuai ketentuan, seperti kepemilikan SKTM

Berita Tekait

Policy Paper