Soal BPJS, Asosiasi Klinik: Sebenarnya Kami tidak Senang

Soal BPJS, Asosiasi Klinik: Sebenarnya Kami tidak Senang

Jakarta, CNBC Indonesia - Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menggelar rapat kerja dengan sejumlah stake holder di sektor kesehatan di ruang rapat Komisi IX DPR RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019). Salah satu pihak yang diundang adalah Asosiasi Klinik Indonesia.

Dalam kesempatan itu, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Abidin Fikri menanyakan apakah klinik-klinik senang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Pertanyaan itu dijawab oleh Ketua Asosiasi Klinik Indonesia Eddy Junaedy.

"Mungkin pertanyaan apakah RS atau klinik seneng atau gak seneng jawabannya. Mau tidak mau harus seneng dengan tidak seneng. Kenapa sudah tidak ada lagi yang bukan BPJS? Sebenernya kami tidak seneng. Tapi sudah tidak ada lagi pasien yang tidak BPJS. Semua sudah BPJS. Apalagi datang ke klinik. Pasien umum paling 1-2 pasien," ujar Eddy.

Ihwal kerja sama dengan BPJS Kesehatan, Ia menceritakan bahwa ada perjanjian kerja sama (PKS) dengan klinik pada 2016. Hal itu bertujuan untuk melindungi klinik-klinik anggota BPJS Kesehatan.

Namun, ada satu hal yang mengganjal, yaitu terkait dengan akreditasi. Eddy menyebut Asosiasi Klinik Indonesia meminta hal itu jangan dulu dijalankan.

"Karena kami sudah hitung-hitungan cost biayanya cukup tinggi. Kami tidak mau surveyor datang ke klinik minta hotel bintang 5, minta musik, minta penyanyi dangdut dan macam. Mungkin teman-teman PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) dan lain tidak berani ungkapkan tapi saya harus ungkapkan karena saya pekerja di RS," ujarnya.

Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Netty Prasetiyani Heryawan mengaku kaget dengan penuturan Eddy. Ia mengatakan DPR RI akan menggunakan fungsi pengawasan perihal praktik-praktik tidak benar dalam akreditasi klinik maupun rumah sakit.

"Kalau kita bicara akreditasi apa aja sih yang menjadi indikator kenaikan dan pengendalian mutu? Kan akreditasi itu berbanding lurus dengan mutu yang bisa diberikan oleh layanan kesmas. Bagi masyarakat kan gitu. itu yang akan kita pelototin. Tentu saja pengawasan yang lain menertibkan. Jangan sampai berbiaya tinggi. Jangan sampai ada persepsi yang berbeda," kata Netty.

Ia menilai akreditasi itu wajar berbiaya tinggi lantaran hal-hal teknis seperti pengelolaan sampah dan limbah. Namun, apabila untuk hal-hal yang artifisial bahkan cenderung merusak moral, maka hal itu harus jadi bagian yang diawasi DPR RI.

Berita Tekait

Policy Paper