RS Kesulitan bila BPJS Kesehatan untuk Penanganan Covid-19

Jakarta, Beritasatu.com – Menyusul perpanjangan status kebencanaan pandemi Covid-19 di Tanah Air melalui Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 24 Tahun 2021 tentang Penetapan Status Faktual Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), muncul kekhawatiran pembiayaan pelayanan kesehatan akan diarahkan kepada BPJS Kesehatan dalam menangani perawatan pasien Covid-19 secara cost sharing.

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Perkumpulan Profesi Administrasi Rumah Sakit Indonesia (PP ARSSI), Ichsan Hanafi, menyebutkan apabila seluruh dana perawatan pasien Covid-19 menggunakan BPJS Kesehatan akan menyulitkan rumah sakit.

“Banyak masyarakat yang biasanya bisa berobat ke luar negeri, tetapi sejak pandemi tidak bisa sehingga mereka berobat di dalam negeri. Ini menjadi peluang bagi rumah sakit untuk mengoptimalkan pelayanan, baik dari segi fasilitas ataupun dokter. Namun, yang menjadi kendala beberapa rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS, teknis pelaksanaannya terbilang aneh. Bayangkan ada rumah sakit yang memiliki klinik eksekutif tapi tidak boleh, seakan-akan disamakan antara pasien eksekutif dengan pasien BPJS,” jelas Ichsan diskusi daring “Bauran Kebijakan Pembiayaan (Keppres Nomor 24 Tahun 2021) Pembiayaan Covid-19 Beban BPJS” Minggu (16/1/2022)

Sebelumnya dalam Keppres tersebut, disebutkan pemerintah dapat menetapkan bauran kebijakan melalui penetapan skema pendanaan antara pemerintah dengan badan usaha yang bergerak di bidang pembiayaan pelayanan kesehatan dan skema lainnya dalam rangka penanganan, pengendalian, dan/atau pencegahan pandemi Covid-19 beserta dampaknya khususnya di bidang kesehatan, ekonomi, dan sosial.

Menurut Ichsan, bagi masyarakat yang mampu membayar seharusnya tidak perlu ditanggung oleh BPJS karena hal itu sangat membantu rumah sakit dan menjadi peluang dalam meningkatkan penghasilan dari rumah sakit yang akan dialokasikan ke peningkatan mutu kualitas pelayanan.

“Harus kita akui program asuransi banyak yang collapse juga karena mungkin pesertanya terbatas. Harapan ke depan hal ini bisa diakomodir, pasien BPJS tetap berjalan dan pasien dengan asuransi dan jaminan dari perusahaan juga berjalan. Sekarang kami banyak menghadapi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS yang nonaktif, sehingga banyak masyarakat yang tidak punya kartu, dan ketika masuk rumah sakit, kami kan harus melayani, tapi siapa yang mau menjamin, pemerintah daerah tidak bisa, BPJS juga tidak,” ujar Ichsan.

Lebih lanjut, dikatakan Ichsan, banyak dari rumah sakit swasta yang melayani pasien Covid-19 tetapi tidak dibayar oleh pemerintah. Padahal, lanjutnya, rumah sakit membutuhkan banyak biaya tambahan untuk menyiapkan alat pelindung diri (APD) di poli lainnya, seperti di poli gigi atau THT, tetapi tidak ada insentif yang diberikan BPJS.

“Berbicara mutu, kita ingin tetap dapat meningkatkan, setiap alat-alat yang dipakai ada batas pakai serta butuh maintenance, tidak sedikit biaya yang dikeluarkan, tetapi selama kendala masih seperti ini tentu akan sulit. Kalau mutu rumah sakit bagus dan pelayanannya bagus, maka masyarakat yang drop-out iuran BPJS-nya lambat laun akan kembali mengaktifkan kartunya, sehingga iurannya akan aktif juga,” ujar Ichsan

Demikian, Ichsan berharap adanya kerja sama antar asosiasi dari fasilitas kesehatan untuk bekerja dan berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan masalah tersebut. “Jadi mungkin kita harus berkolaborasi antar asosiasi faskes seperti ARSSI, PERSI, IDI dan lainnya untuk menyusun dan melakukan lobi kepada pemerintah mengenai persoalan pajak, tarif, dan sebagainya. Jadi kita bisa berjuang bersama-sama dan tidak berjalan sendiri-sendiri,” pungkasnya.

Berita Tekait

Policy Paper