Bencana di Berbagai Daerah, Penting Perhatikan Pemenuhan Gizi di Pengungsian

KOMPAS.com - Bencana tengah melanda beberapa wilayah di Indonesia. Beberapa waktu lalu, terjadi bencana gempa di Sulawesi Barat sehingga warga di wilayah terdampak harus mengungsi dan bertahan di pengungsian.

Dalam dua pekan terakhir, banjir besar juga melanda beberapa daerah, misalnya Kalimantan Selatan, Jawa Timur, dan terbaru sejumlah wilayah di Jawa Tengah.

Peristiwa banjir ini membuat para warga harus berada di pengungsian.

Ahli gizi dr. Tan Shot Yen, M. Hum mengingatkan, penting memerhatikan pemenuhan gizi warga yang berada di tempat- tempat pengungsian.

"Penting banget. Pertama, banyak warga rawan gizi yang juga ada di pengungsian (seperti) ibu hamil, menyusui, dan balita," ujar Tan saat dihubungi Kompas.com, Minggu (7/2/2021).

Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) menunjukkan, ada 263 bencana yang terjadi sepanjang Januari 2021. Data tersebut merupakan rangkuman hingga 31 Januari 2021 pukul 15.00 WIB.

Adapun untuk jumlah orang yang menderita dan mengungsi akibat bencana, tercatat sebanyak 1.548.173 orang.

Kelompok rentan gizi

Dalam waktu 6 jam setelah terjadi bencana, perlu segera dibangun dapur umum dan dapur pemberian makanan bayi dan anak (PMBA).

Tan menjelaskan, PMBA perlu disediakan karena kebutuhan gizi untuk anak, bayi, ibu hamil, dan menyusui berbeda dengan orang dewasa normal.

"Mereka tidak bisa diperlakukan sama dengan orang-orang dewasa dalam kondisi normal. Ibu menyusui saja jika stress dan tidak punya ruang nyaman untuk menyusui, ASInya akan terhenti," kata Tan.

Jika tidak mendapatkan asupan gizi yang baik, maka rentan terjangkit penyakit.

Dalam kondisi bencana, bantuan makanan yang dianggap paling praktis adalah produk-produk makanan instan.

Untuk kondisi pasca bencana, Tan mengatakan, 6 jam pertama masih diperbolehkan karena masih darurat.

"Jika 6 jam pertama, masih oke lah. Namanya kan darurat ya. Tapi masa keterusan? Nah, itu sebabnya kenapa dapur umum dan dapur PMBA perlu berdiri," kata dia.

Konsumsi pangan instan di tempat pengungsian rentan menciptakan pola kecanduan yang salah.

"Apalagi jika orangtuanya tidak melek gizi, dikira justru yang disumbangkan itu makanan-makanan kemasan 'sehat' yang dibagi-bagi dan sedihnya jika Dinkes terkait ikut endorse," ujar Tan.

Selain pangan instan, Tan juga mengatakan, saat kondisi bencana tidak perlu ada sumbangan berupa produk susu.

Semua donasi berupa pengganti ASI, botol dan dot harus diawasi dan mendapat persetujuan dinas kesehatan setempat.

Pemberian produk pengganti ASI yang kurang tepat, retan menimbulkan risiko kontaminasi, diare, bahkan kematian.

Catatan soal pemenuhan gizi saat bencana

Tan menyebutkan, ada lima hal yang perlu diperhatikan terkait pemenuhan gizi saat bencana. Kelima hal tersebut adalah:

  1. Saat ini kepedulian terhadap bencana lebih banyak dari donatur maupun swadaya masarakat. Seharusnya, penanganan dan pemenuhan gizi jadi inisiaif dinas terkait.
  2. Dibutuhkan relawan gizi
  3. Menempatkan kader (contohnya PKK) sebagai tenaga inti
  4. Mendapat dukungan kepala desa, lurah, camat, bupati, bahkan gubernur
  5. Mendapat dukungan instansi terkait pengadaan tempat, sarana air bersih, dan pusat informasi bagi penduduk 

Selain itu, perlu diperhatikan mencari alternatif untuk mengganti makanan instan menjadi makanan yang lebih kaya gizi.

Makanan kaya manfaat yang dapat dikonsumsi dalam kondisi bencana, antara lain rebusan ubi-ubian, singkong, talas, dan pisang kepok.

Adapun untuk buah-buahan sebaiknya mengonsumsi buah yang belum dikupas, seperti jeruk, salak, dan manggis.

Camilan penuh gizi lainnya dapat berupa lepet kacang merah, lepet kacang tolo, telur pindang, atau roti sumbu (kukusan singkong ditaburi abon).

Berita Tekait

Policy Paper