Indonesia secara resmi menjalankan peran sebagai Presidensi G20 sejak 1 Desember 2021. Peran tersebut menunjukkan kontribusi aktif dan kepemimpinan Indonesia di forum global, selain memperkuat citra positif dan membangun kepercayaan internasional.
Momen Presidensi G20 juga menjadi sarana memperlihatkan kemajuan pembangunan Indonesia serta pelaksanaan reformasi structural demi meningkatkan daya tarik investasi.
Dalam jangka pendek, Presidensi G20 diharapkan mendorong aktivitas ekonomi dan menyerap tenaga kerja melalui pelaksanaan berbagai event dan pertemuan.
Menariknya, Presidensi G20 Indonesia dijalankan pada situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian ebagai dampak pandemi Covid-19.
Di satu sisi, ekonomi global mengalami pemulihan, namun pada sisi yang lain juga menghadapi risiko yang menimbulkan ketidakpastian. Berdasarkan proyeksi World Economic Outlook edisi Oktober 2021, perekonomian global diproyeksikan tumbuh 5,9% pada 2021 serta kembali normal 4,9% pada 2022. Namun demikian, proyeksi pertumbuhan masih menghadapi beberapa risiko penurunan.
Badai Covid tentu masih menjadi ancaman terbesar, khususnya gelombang varian corona baru, Omicron. Status terakhir menyebutkan bahwa varian tersebut telah menyebar ke 74 negara, dengan kasus terbanyak di Inggris, Denmark, Norwegia, dan Afrika Selatan. Satu orang di Indonesia juga terdeteksi terinfeksi. Tantangan lainnya adalah meningkatnya tekanan inflasi di banyak negara akibat gangguan pasokan serta kenaikan harga ko moditas.
Di beberapa Negara maju, kinerja ekonomi yang kuat dan tekanan inflasi tinggi mendorong penerapan tapering-off.
Sementara di beberapa Negara berkembang, pengetatan kebijakan moneter yang dipicu oleh melonjaknya inflasi pangan dapat mengurangi prospek ekonomi global, terutama dalam periode pemulihan.
Pemulihan yang tidak sinkron (asynchronous) ditambah dengan perbedaan yang signifikan dari peluncuran vaksin menimbulkan ancaman besar bagi pemulihan global yang solid. Pandemi yang berkepanjangan juga diyakini dapat menimbulkan scarring effect (efek luka mendalam) sisi produksi.
Penundaan investasi, meningkatnya pengangguran dan penurunan kualitas hasil pendidikan karena sistem pembelajaran jarak jauh, diperkirakan akan melemahkan produktivitas dan pada gilirannya akan berpotensi menghambat pertumbuhan jangka panjang.
Tata Ulang Arsitektur Kesehatan
Kondisi tersebut tak pelak membutuhkan solusi terencana, terkalibrasi dan dikomunikasikan secara baik dengan mempertimbangkan tahap pembangunan masing-masing negara. Hal utama dan terpenting adalah peluncuran vaksin secara kolektif yang lebih luas dan lebih cepat didukung dengan akses dan distribusi vaksin yang lebih adil di seluruh negara.
Surplus vaksin di negara maju harus dialihkan ke negara-negara berpenghasilan rendah untuk meningkatkan vaksinasi global yang lebih merata yang merupakan kunci untuk pemulihan yang lebih kuat dan berkelanjutan.
Upaya mengatasi scarring effect juga diperlukan untuk memperkuat potensi pertumbuhan jangka panjang, terutama melalui reformasi struktural yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas, daya saing, dan ketahanan ekonomi.
Selain itu, arsitektur kesehatan global perlu ditata ulang dan lebih diperkuat. Penataan ulang dan penguatan arsitektur kesehatan global mencakup kolaborasi bidang kesehatan dan keuangan dalam memperkuat upaya untuk mencegah, mendeteksi, dan menanggapi keadaan darurat ke sehatan di masa depan dengan potensi lintas batas dan dalam kerangka kerja peraturan kesehatan internasional. Pada bidang kesehatan, penataan ulang arsitektur kesehatan global mencakup tiga isu prioritas.
Pertama, memperkuat ketahanan sistem kesehatan global melalui pelaksanaan program penggalangan sumber daya kesehatan esensial untuk pencegahan, kesiapsiagaan dan respons terhadap krisis kesehatan serta peningkatan surveillance global dengan berbagi data genomic melalui platform terbuka.
Kedua, melakukan harmonisasi standar protokol kesehatan global dengan cara menyinergikan pedoman protokol kesehatan untuk mendukung perjalanan lintas batas negara dan menghubungkan sistem informasi kesehatan dari berbagai negara untuk perjalanan internasional.
Ketiga, melakukan ekspansi poros manufaktur global ke negara-negara berkembang untuk vaksin, therapeutic, dan diagnostic serta memperkuat jejaring global ilmuwan virologi, imunologi, epidemologi dan bidang ilmu lainnya yang terkait dengan krisis kesehatan.
Sementara pada bidang keuangan, penataan ulang ditujukan untuk memperkuat pembiayaan kesehatan domestik dan internasional yang sudah ada maupun dengan mengembangkan skema pembiayaan global yang baru untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons terhadap pandemi.
Untuk pembiayaan domestik, pemerintah di banyak negara telah melakukan reformasi kebijakan fiskal untuk memobilisasi sumber daya domestik tambahan guna membangun kapasitas terkait pandemi dan lebih memperkuat sistem kesehatan masyarakat secara luas. Pada saat yang sama, memungkinkan negara-negara tersebut untuk kembali ke pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Dalam hal ini, untuk negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah perlu menambahkan sekitar 1% dari produk domestik bruto (PDB) ke pengeluaran publik untuk penanganan kesehatan selama lima tahun ke depan.
Pada sisi yang lain, bank pembangunan multilateral (multilateral development banks/ MDBs) dan lembaga keuangan internasional (LKI), telah mengalokasikan sebagian dari sumber pembiayaannya untuk penanganan kesehatan di negara-negara anggotanya maupun global. Grup Bank Dunia, misalnya, sejak awal pandemi Covid-19 telah mengerahkan lebih dari US$ 157 miliar untuk memerangi dampak kesehatan, ekonomi, dan sosial dari pandemi.
Ini adalah respons krisis tercepat dan terbesar dalam sejarah pembiayaan Bank Dunia. Pembiayaan ini telah membantu lebih dari 100 negara dalam memperkuat kesiapsiagaan terhadap pandemi, melindungi orang miskin dan rentan, serta memulai pemulihan ekonomi rendah karbon.
Bank Pembangunan Asia, pada sisi yang lain, telah menyediakan paket respons Covid-19 sebesar US$ 20 miliar untuk mendukung negara-negara berkembang anggotanya dalam melawan dampak ekonomi makro dan kesehatan yang disebabkan Covid-19.
Dalam rangka memperkuat upaya pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons terhadap pandemi, perlu dikembangkan skema pembiayan global yang terkoordinasi.
Skema pembiayaan ini memerlukan komitmen dan kontribusi dari negara-negara di dunia, termasuk negara-negara G20, dan pembiayaan dari MDBs dan LKI. Pemerintah negara dan MDBs serta LKI, secara kolektif perlu meningkatkan pembiayaan internasional untuk pencegahan pandemi dan kesiapsiagaan setidaknya US$ 75 miliar selama lima tahun ke depan, atau US$ 15 miliar setiap tahun, dengan investasi berkelanjutan di tahun-tahun berikutnya.
Kondisi ini juga membuka ruang lingkup yang signifikan untuk memobilisasi sumber dana dan daya sektor swasta dan filantropi untuk turut berkontribusi memperkuat kesiapsiagaan dan respons terhadap pandemi.
Dalam rangka mewadahi sumber pembiayaan campuran dimaksud, perlu dikembangkan skema pengelolaan dana yang tepat. Dalam hal ini, G20 direkomendasikan untuk membentuk Dana Perantara Keuangan (Financial Intermediary Fund/ FIF) untuk mengelola kontribusi negara-negara G20 dan Negara lainnya, pembiayaan dari MDBs dan LKI serta pelaku swasta dan filantropi.
Dalam menjalankan peran tersebut, FIF akan menugaskan pihak ketiga yang berperan sebagai Wali Amanat (Trustee). Dalam hal ini, Bank Dunia direkomendasikan untuk berperan sebagai Trustee.
Dalam skema FIF, arah kebijakan penggunaan dana akan ditentukan oleh pemilik dana, sedangkan trustee hanya akan menjalankan peran berdasarkan kebijakan para pemilik dana tersebut. Namun demikian, trustee dapat memberikan saran kebijakan atas manajemen perbendaharaan, termasuk apabila FIF akan melakukan penerbitan obligasi, intermediasi lindung nilai dan monetisasi kredit karbon.
Ke depan, FIF dapat dikembangkan menjadi badan/entitas independen internasional dengan tujuan spesifik, seperti halnya Green Climate Fund (GCF) yang ditujukan untuk membantu negara-negara berkembang mengurangi emisi gas rumah kaca (mitigasi) dan meningkatkan kemampuan untuk menanggapi perubahan iklim (adaptasi). FIF akan melengkapi, bukan menduplikasi MDBs dan pendanaan lain yang ada, namun akan mengisi kesenjangan dalam pendekatan berbasis permintaan negara-negara yang memerlukan pembiayaan.
Penataan ulang arsitektur kesehatan global, termasuk pembentukan FIF, menjadi tantangan besar bagi Presidensi G20 Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia harus mampu menyusun roadmap yang memadai dan memainkan peran diplomasi yang efektif, sehingga mendapatkan komitmen dan kontribusi dari ne gara-negara G20 dan Negara lainnya, MDBs dan LKI serta pihak swasta dan filantropi, untuk menata ulang arsitektur kesehatan global, termasuk membentuk FIF pada tahun 2022.
Namun demikian, tantangan ini sekaligus memberikan peluang bagi Indonesia untuk dapat menghasilkan prakarsa nyata yang akan menjadi legacy bagi Presidensi G20 Indonesia.
*) Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu; (Tulisan ini merupakan pendapat pribadi tidak mencerminkan kebijakan institusi)
Editor : Gora Kunjana ( This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it. )
sumber: https://investor.id