Jakarta - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin meminta masyarakat mampu agar membayar biaya perawatan kesehatan lewat program BPJS Kesehatan yang terintegrasi asuransi swasta.
Ia berharap, masyarakat mampu dengan demikian tidak membebani BPJS Kesehatan dan negara. Lebih lanjut, BPJS Kesehatan diharapkan jadi bisa lebih fokus melayani masyarakat tidak mampu.
"Kerja sama dengan asuransi swasta mengkombinasikan pembayaran BPJS Kesehatan. Jadi tidak semua ditanggung BPJS khususnya untuk masyarakat berpenghasilan tinggi atau masyarakat mampu, sehingga BPJS bisa kita prioritaskan ke masyarakat tidak mampu," kata Budi dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI pada Selasa (22/11/2022) lalu, dikutip dari detikFinance.
Dalam klarifikasi pernyataan tersebut, Budi mengatakan bahwa layanan BPJS Kesehatan adalah hak semua elemen masyarakat, baik kaya ataupun miskin.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo mengamini bahwa BPJS Kesehatan ditujukan untuk semua warga. Menurut Rahmad, akar persoalan BPJS Kesehatan bukan perihal kaya atau miskin, melainkan banyak orang kaya ditemukan dalam sistem Penerima Bantuan Iuran (PBI) karena salah sasaran.
Merespons soal Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan BPJS Kesehatan, Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair) Dr Antun Mardiyanta mengatakan, data membuktikan bahwa selama ini BPJS Kesehatan menanggung beban pengobatan orang-orang kaya atau bahkan konglomerat.
Untuk itu, Antun berpendapat, pemerintah perlu mengadakan evaluasi dan penyempurnaan kebijakan tentang permasalahan tersebut.
"Tetapi harus diingat bahwa sejak awal, BPJS Kesehatan memang ditujukan untuk semua warga tanpa kecuali. Karenanya, semua warga diwajibkan menjadi peserta BPJS Kesehatan sesuai kondisi dan status masing-masing," ucapnya, dikutip dari laman kampus, Senin (12/12/2022).
Update Data Kemampuan Ekonomi
Antun menyarankan, pemerintah perlu memiliki data terbaru terkait kemampuan ekonomi seluruh warga Indonesia beserta kategori status yang relevan dengan PBI. Data ini pun perlu dimutakhirkan tiap tahun.
Jika pemerintah berniat untuk menyelesaikan persoalan dengan sungguh-sungguh, sambungnya, maka data PBI harus segera dipersiapkan dan harus tepat sasaran.
"Data by name by address yang dinamis. Artinya, selalu di-update tiap tahun. Penerima PBI harus diputuskan berdasar pada data yang benar, valid, dan update dari waktu ke waktu," jelas Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair tersebut.
Ia menekankan, adanya data PBI yang mutakhir bisa bermanfaat untuk penerima bantuan, kebijakan bantuan sosial (bansos), kebijakan afirmasi, dan lain-lain. Dengan demikian, masalah ini tidak terus-terusan berulang.
"Tentu data ini tidak hanya berguna untuk PBI BPJS Kesehatan, tetapi juga sangat bermanfaat untuk berbagai kebijakan pemerintah yang lain, seperti bantuan sosial, berbagai kebijakan afirmasi, dan sebagainya," kata Antun.
"Ini adalah masalah yang selalu berulang dan belum ditangani secara serius," imbuhnya.
Instrumen Kebijakan Berbasis Data
Antun menambahkan, pemerintah juga perlu mendesain kebijakan yang layak. Caranya yakni menggunakan instrumen-instrumen kebijakan yang inovatif-solutif berbasis data (evidence-based public policy).
"Nilai gotong-royong dan keadilan harus tercermin dalam setiap kebijakan pemerintah. Perdebatan rancangan alternatif kebijakan berbasis data perlu diberi ruang agar publik yakin bahwa kebijakan yang dipilih akuntabel," pungkasnya.