Ilustasi: Kantor PT AskesDirektur Pelayanan PT Askes, Fajriadinur, mengatakan dalam melaksanakan BPJS Kesehatan, hal penting untuk diperhatikan adalah kendalimutudanbiaya dalam pelayanan kesehatan yang digelar. Kedua hal itu sangat dipengaruhi oleh tindakan dokter dalam melayani pasien. Mengacu amanat UU SJSN dan UU BPJS, Fajriadinur mengatakan salah satu prinsip adalah keberlanjutan. Untuk itu mutu dan biaya pelayanan kesehatan BPJS nantinya harus berjalan efektif dan efisien.
Fajriadinur mengatakan selama ini PT Askes kerap dianggap hanya menekankan kendali biaya tanpa mementingkan mutu dalam menjalankan program jaminan kesehatan. Menurutnya, hal itu menunjukan adanya kebutuhan medis dari masyarakat yang cukup besar. Selaras dengan itu Fajriadinur mengakui masyarakat mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap PT Askes yang tahun depan beralih menjadi BPJS Kesehatan. Contohnya, ketika berkeliling Indonesia beberapa waktu lalu, ia bertemu dengan kelompok masyarakat yang mengidap penyakit tertentu namun tidak bisa dicakup dalam program asuransi yang ada sekarang.
Mengetahui kalau BPJS Kesehatan menjamin penyakit yang didera kelompok masyarakat tersebut, Fajriadinur mengatakan mereka sangat antusias untuk bergabung dengan BPJS pada 2014. Oleh karenanya, selain dibutuhkan kualitas pelayanan yang baik serta biaya yang sesuai, BPJS membutuhkan peserta dalam jumlah banyak. Jika hal itu tak tercapai, Fajriadinur khawatir pada awal BPJS Kesehatan beroperasi, tak sanggup membayar klaim yang diajukan peserta.
Dalam menentukan kendali mutu dan biaya untuk BPJS, menurut Fajriadinur perlu juga diperhatikan peristiwa terakhir dimana 16 RS sebagai bagian dari penyedia layanan kesehatan untuk Kartu Jakarta Sehat (KJS) mengundurkan diri. Menurutnya, banyak RS swasta yang belum terbiasa dengan sistem pembayaran Indonesia Case Base Group's (INA CBG's). Sehingga, RS swasta tak puas dengan besaran biaya yang ditetapkan lewat sistem yang dibentuk Kemenkes itu. Namun, hal itu menurutnya bagian dari dinamika untuk mencari keseimbangan antara kendali mutu dan biaya.
Bagi Fajriadinur, mencari titik keseimbangan antara kendali mutu dan biaya sangat penting untuk BPJS. Apalagi, ketika BPJS Kesehatan beroperasi, sistem pembayaran yang digunakan adalah INA CBG's. “Ini dinamika untuk evaluasi, apakah ada yang belum efektif dan efisien atau belum terakomodir,” katanya dalam seminar di kantor pusat PT Askes Jakarta, Senin (20/5).
Sejalan dengan itu Fajriadinur mengingatkan, kewajiban untuk mengembangkan mutu tertuang dalam perintah UU SJSN dan BPJS. Serta Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (Jamkes) mengamanatkan Kemenkes untuk menerbitkan peraturan pelaksana. Berdasarkan hal itu, Fajriadinur mengimbau kepada seluruh pemangku kepentingan seperti organisasi profesi kedokteran dan RS untuk memberikan masukan kepada Kemenkes terkait rancangan peraturan pelaksana tersebut.
Pada kesempatan yang sama Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Menaldi Rasmin, soal kendali mutu, profesi kedokteran perlu terlibat sesuai dengan kekhususannya masing-masing. Menurutnya, hal itu dapat didorong dengan regulasi yang diterbitkan KKI. Dalam menjalankan fungsinya, KKI punya kewenangan untuk mengatur, menetapkan dan membina dokter dalam rangka menjaga kualitas dokter. “KKI itu untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi,” ujarnya.
Menaldi menjelaskan ada beberapa hambatan dalam membina mutu dan profesionalisme dokter serta dokter gigi. Hal itu terjadi sejak masa pendidikan kedokteran di institusi pendidikan. Contohnya, tak sedikit lembaga pendidikan kedokteran yang menerapkan syarat longgar bagi calon peserta didik. Sehingga yang dikejar lembaga pendidikan itu bukan kualitas tapi kuantitas. Kemudian, penetapan syarat yang tinggi untuk suatu profesi, padahal tak semua lembaga pendidikan memiliki alat yang dibutuhkan sesuai persyaratan itu.
Begitu pula dengan sebaran dokter yang belum merata di seluruh Indonesia. Menaldi mengatakan jumlah dokter lebih banyak di perkotaan. Padahal seluruh daerah membutuhkan dokter. Ia mencontohkan di Jakarta, seorang dokter umum dalam sehari bisa dikunjungi seratus pasien. Menurutnya, kondisi itu membuat potensi menjaga mutu pelayanan kesehatan menjadi minim. Ia berpendapat, jumlah pasien ideal yang ditangani seorang dokter dalam satu hari harusnya tak lebih dari dua puluhan pasien. Jika lebih dari itu maka pengendalian mutu sulit dicapai.
Sementara Ketua umum Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Zaura Rini Anggraeni, mengatakan dalam rangka menjaga mutu dokter gigi, selama ini sudah dilakukan. Mulai dari tingkat pendidikan dokter gigi sampai dibentuk komite pemantau etik untuk menangani pelanggaran yang dilakukan dokter gigi. Serta terdapat standar lain yang harus dipenuhi dokter gigi seperti kompetensi dan pelayanan. Bahkan untuk praktik, dokter gigi harus mengantongi izin dari Kemenkes.
Untuk kendali mutu dan biaya, dokter gigi yang bekerja di pelayanan kesehatan primer seperti di Puskesmas dan dokter keluarga kendali tersebut sangat diperlukan. Pasalnya, keberadaan dokter gigi di pelayanan kesehatan primer bakal membantu pencegahaan kepada peserta BPJS Kesehatan agar tidak mengalami penyakit yang lebih berat sehingga membutuhkan biaya lebih untuk penyembuhan. Oleh karenanya, Zaura menilai penting memposisikan dokter gigi di pelayanan kesehatan primer dalam rangka pencegahaan dini. “Dokter gigi di pelayanan kesehatan primer adalah lini terdepan masyarakat. Pencegahan dini untuk mencegah infeksi sistemik dini,” tegasnya.
Dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan tahun depan, Zaura memperkirakan peserta yang bakal ditangani dokter gigi mencapai ribuan. Agar mampu menangani jumlah pasien BPJS Kesehatan sesuai kebutuhan, Zaura mengatakan ke depan dokter gigi harus memperketat pencatatan administrasi. Mengingat BPJS merupakan badan hukum publik dan terjadi perubahan budaya ketimbang pelaksanaan program asuransi sebelumnya, Zaura mengatakan PDGI masih melakukan pencatatan untuk memperkirakan kemungkinan perubahan ke depan ketika BPJS Kesehatan berjalan.
Sementara Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Zaenal Abidin, untuk menciptakan keseimbangan mutu dan biaya pelayanan kesehatan, seorang dokter harus berpikir tentang apa tindakan yang mesti dilakukan untuk pasien, bukan apa yang didapat dokter ketika melayani pasien. Menurutnya, pola pikir dokter cukup banyak yang seperti itu. Padahal, langkah utama yang harus dilakukan dokter adalah melakukan tindakan medis terbaik, setelah itu baru dipkirkan berapa besaran yang diperolehnya atas tindakan yang sudah dilakukan. Jika hal itu diterapkan oleh dokter, Zaenal yakin BPJS bakal berjalan baik.
Zaenal berpendapat, dengan adanya kendali mutu dan biaya, maka mencegah dokter untuk bertindak sewenang-wenang terhadap pasien. Sehingga, si dokter menyadari berapa besaran yang pantas didapat ketika menangani suatu penyakit. Tapi, jika besaran yang dianggarkan BPJS nanti “pelit”, Zaenal khawatir akan berdampak buruk bagi pasien. Selaras dengan itu untuk menjaga kualitas dokter, IDI berperan untuk meningkatkan profesionalisme dokter dalam etika.
Selain itu, Zaenal berpendapat sedikitnya ada tiga syarat pelaksanaan BPJS untuk dapat berjalan baik. Pertama, fasilitas kesehatan harus tersebar secara merata di seluruh Indonesia. Menurutnya, akan percuma sekalipun pelayanan BPJS gratis, jika fasilitas kesehatan sulit diakses masyarakat. Kedua, dokter harus menyebar merata dan kualitasnya harus baik. Ketiga, anggaran yang cukup karena ekspektasi yang besar terhadap BPJS bukan hanya menghinggapi masyarakat tapi juga dokter. “Jangan sampai besar pasak daripada tiang, harapan besar tapi dukungan dana yang kecil,”pungkasnya.
sumber: http://www.hukumonline.com