Penderita diabetes di Indonesia terus bertambah. Seiring meningkatnya prevalensi penyakit kronis ini, anggaran BPJS Kesehatan untuk penanganan diabetes pun akan terus membengkak.
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan telah menggelontorkan dana Rp6,1 triliun untuk pengobatan diabetes pada 2018. "Penyakit kronis dengan biaya BPJS tinggi yaitu diabetes Rp6,1 trilliun. Disusul hipertensi sebesar Rp2 trilliun," ujar Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Primer BPJS Kesehatan, dr Dwi Martiningsih di Jakarta, (1/7).
Ini belum termasuk biaya yang dikeluarkan untuk menangani komplikasi akibat diabetes. Perlu diketahui, penanganan penyakit jantung mencapai Rp10,5 triliun dan gagal ginjal mencapai Rp2,4 triliun.
Menilik data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan, jumlah penderita diabetes di Indonesia terus meningkat.
Prevalensi Diabetes Melitus (DM) berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur >=15 tahun pada 2018 meningkat menjadi dua persen dibandingkan tahun sebelumnya, 1,5 persen. Maka biaya yang harus digelontorkan BPJS Kesehatan pun akan terus membengkak.
Lima provinsi dengan prevalensi DM tertinggi adalah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Jawa Timur. Dari kelima provinsi itu, prevalensi DM hanya meningkat di DKI Jakarta, dari 2,4 persen tahun 2013 menjadi 2,6 persen tahun 2018.
Ketua Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni), Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD pernah melakukan penelitian diabetes di Bali. Legian (61,2 persen) dan Ubud (70,1 persen), mendapat predikat daerah dengan tingkat obesitas tertinggi.
Kata Ketut, ini karena pola makan. Makin makmur suatu daerah, makin rentan diabetes.
Peningkatan jumlah penderita diabetes tidak diimbangi dengan pemahaman masyarakat tentang diabetes. Penderita diabetes perlu mengendalikan gula darah dan mengubah gaya hidup.
Masalahnya, sering kali orang baru berobat ke dokter setelah ada gangguan. Padahal, pengobatan diabetes menjadi semakin mahal mana kala sudah menimbulkan komplikasi. Termasuk luka gangren, gagal ginjal, penyakit jantung, strok, dan gangguan penglihatan.
"Penyakit diabetes itu progresif. Kita harus ikuti progresif penyakit itu. Pengobatan dan penanganannya dapat tepat. Sehingga dapat meredam terjadinya penyakit komplikasi," terang Ketut dalam kesempatan sama.
Jika penderita diabetes melek informasi, mereka bisa mendapat penanganan lebih cepat sehingga tidak sampai terjadi komplikasi. Dengan begitu, BPJS Kesehatan tak perlu menggelontorkan biaya sebesar saat ini.
Faktanya tidak demikian. Malah, Indonesia adalah negara dengan penanganan diabetes terburuk di dunia.
Ini menurut tingkat HbA1c--gambaran rata-rata kadar gula darah dalam tiga bulan--2017. Kisaran nilai normal HbA1c antara 4-5,6 persen. Kadar HbA1c 5,7-6,4 persen mengindikasikan peningkatan risiko diabetes. Kadar HbA1c 6,5 persen atau lebih tinggi mengindikasikan diabetes.
Menurut Ketut, rata-rata orang Indonesia baru berobat setelah HbA1c mencapai 8 persen.
Tingginya prevalensi penderita diabetes di Indonesia bukan hanya dipicu minimnya kesadaran masyarakat. Pelayanan kesehatan di tanah air juga belum memadai.
Ketut menjelaskan, idealnya pasien diabetes bisa dilayani di fasilitas kesehatan tingkat satu. Dengan begitu tidak makan dana karena dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat 2 dan 3.
Kenyataannya, dari besaran dana Rp6,1 triliun, sekitar 87,5 persennya digunakan untuk menangani pasien diabetes yang sudah komplikasi. Hanya sekitar 0,5 persen yang digunakan untuk belanja obat.
Ketut menambahkan, akan lebih baik jika biaya obat disediakan di fasilitas kesehatan tingkat satu. Jadi komplikasi bisa dicegah, sehingga biaya 87,5 persen bisa ditekan.